BAB I
PENDAHULUAN
Kemampuan berbicara merupakan salah satu hal penting yang
harus kita kuasai, terutama bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, apalagi dosen.
Berbicara adalah cara paling efektif untuk mengungkapkan isi hati. Apa yang
dibicarakan seseorang mencerminkan kualitas diri orang tersebut. Berbicara
telah membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain. Binatang misalnya,
tidak memiliki kemampuan berbicara.
Hitler, dalam bukunya Mein Kampf, yang dikutip Jalaluddin
Rakhmat, mengungkapkan bahwa keberhasilannya menjadi Kaisar Jerman dari awalnya
hanya seorang kopral kecil disebabkan oleh kemampuannya berbicara. Hitler
berkata: jede grosse Bewegung auf dieser
Erde verdankt ihr Wachsen den grosseren Rednern und nicht den grossen
Schreibern (setiap gerakan besar di dunia ini dikembangkan oleh ahli-ahli
pidato dan bukan jago-jago tulisan).
Kecakapan atau kemahiran dalam berbicara dipelajari dalam
ilmu retorika. Retorika banyak dipakai orang untuk merancang dan menata
kata-kata agar dapat menampilkan tutur kata yang indah dan mampu meyakinkan
setiap lawan bicaranya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman
Yunani sampai zaman romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan.
Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk
memperoleh kemenangan politik: talk it
out (membicarakannya sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara
pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan
kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan
“menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang
mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad
pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama
Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang
Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh
orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama
Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan
kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen
tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia
menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, mengembirakan, dan
menggerakkan, yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai
tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik
penyampaian pesan.
Satu abad
kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman
Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan
berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka”
(Al-Qur’an, 4:63). Muhammad Saw bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang
baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri
seorang pembicara yang fasih, dengan
kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa
ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air
matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para
pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya dan menyesuaikan
pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya
dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah), salah seorang sahabat yang
paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara.
Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every
antagonist in the combats of tongue or of sword was subdued by his eloquence
and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung
kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan
diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan
Balaghah).
Balaghah
menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam.
Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan
retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa abad pertengahan , dikaji dengan
tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan
dengan kontribusi balaghah pda retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan
bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan
Islam tradisional.
B.
RETORIKA MODERN
Abad
pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama
periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa
dengan Islam yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani dalam perang
Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik
kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada
dua bagian. Invention dan disposito dimasukkannya sebagai bagian
logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocution dan pronuntiatio
saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance
mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan,
menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon
(1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga
pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia
menyatakan, “kewajiban retorika ialah
menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”.
Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak
menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran
pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal
sebagai aliran epistemologis. Epistemologis membahas “teori pengetahuan”,
asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir
epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan
psikologi kognitif (yakni yang membahas proses mental).
George Campbell
(1719-1796), dalam bukunya The Philosophy
of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan
pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas
berusaha menjelaskan sebab musabab perilaku manusia pada imajinasi, perasaan,
dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada
upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan,
dan mempengaruhi kemauan”.
Richard
Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya
juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai
focus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang
tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Naik Whately maupun Campbell
menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika
yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum
epistemologis, aliran pertama retorika modern.
Aliran
retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles letters (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika
belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan,
kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800)
menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan
hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas
citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan
dengan apapun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda senang
mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan
yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai
kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio
dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran
pertama (epistemologi) dan kedua (belles letters) terutama memusatkan perhatian
mereka pada persiapan pidato, pada penyusunan dan penggunaan bahasa. Aliran
ketiga disebut gerakan elokusionis, justru menekankan teknik penyampaian
pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian
pidato, “Pembicaraan tidak boleh melihat
melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga
ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi
mulailah dengan nada yang paling rendah dan mengeluarkan suaranya sedikit saja;
jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkram perhatian mereka”.
James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam
perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian dan kesetiaan yang
berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi
berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artificial. Walaupun
begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris
sebelum merumuskan resep-resep penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi
ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau hasil perenungan rasional
saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian
empiris.
Pada abad
kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan
modern, khsususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah
retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral
communication, atau public speaking.
BAB III
KESIMPULAN
Ketika memasuki abad pertengahan, retorika
sempat tersingkir ke belakang pada saat demokrasi Romawi mengalami kemunduran.
Di Eropa, masa ini sering disebut dengan zaman kegelapan, termasuk ilmu
retorika. Sampai akhirnya satu abad kemudian, di timur muncul seorang Nabi
membawa peradaban baru dengan menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan
pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka”. Dialah Muhammad Saw. Beliau
sendiri adalah seorang pembicara yang fasih.
Pertemuan
orang Eropa dengan Islam yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani dalam
perang Salib menimbulkan Renaissance. Renaissance membawa kita pada retorika
modern. Salah satu tokohnya adalah Roger Bacon. Di era modern ini, ada beberapa
aliran retorika.
Aliran
pertama adalah epistemologis, yang membahas asal-usul, sifat, metode, dan
batas-batas pengetahuan manusia. Yang kedua adalah aliran retorika gerakan
belles letters (tulisan yang indah). Aliran ini mengutamakan keindahan bahasa,
segi-segi estetis pesan, kadang-kadang mengabaikan segi informatifnya. Aliran
ketiga disebut gerakan elokusionis, yang menekankan teknik penyampaian pidato.
Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Retorika
Dakwah: Pendekatan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Effendi, Onong Uchjana. 2007. Ilmu
Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
No comments:
Post a Comment