Tuesday 19 November 2013

Teori Distribusi Islami

BAB I
PENDAHULUAN

Islam bukan hanya sekedar agama seperti halnya agama-agama lain di dunia. Islam hadir sebagai rahmat untuk semesta alam. Islam datang membawa sistem. Jika digali lebih dalam, Islam memiliki sistem sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Sayangnya, menurut An-Nabhani, umat Islam hanya mewarisi agamanya sebagai ritual dan simbol-simbol keagamaan.
Sementara pada saat yang sama – lanjut An-Nabhani – generasi ini telah terpesona dengan pemikiran kapitalis, karena melihat keberhasilannya, bukan karena memahami betul realitas pemikirannya. Juga karena generasi ini telah tunduk pada sistem dan hukum kapitalis, bukan karena menyadari bahwa peraturan-peraturan itu sebenarnya muncul dari pandangan hidup kapitalis.
Umat Islam terlanjur menikmati sistem yang sudah ada sekarang (kapitalis dan sosialis). Padahal, keruntuhan sistem-sistem tersebut tinggal menunggu waktu. Lihat saja apa yang terjadi dengan Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya. Tidak lain karena sistem liberal yang mereka anut.
Umat Islam malah jauh dari pemikiran-pemikiran Islam dilihat dari segi praktiknya, sekalipun beragama Islam dan mengkaji pemikirannya. Mereka malah merasa rendah diri menawarkan konsep ekonomi Islam untuk melahirkan solusi bagi problem kehidupan yang silih berganti.

Sering kali kita hanya berkutat di masalah fiqih ibadah (ritual), namun jarang mengkaji fiqih muamalah (termasuk ekonomi di dalamnya). Padahal, ayat terpanjang yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah ayat muamalah (Al-Baqoroh: 282).
Untuk itu,  perlu adanya generasi yang mengkaji sistem ekonomi Islam secara mendalam dan menyeluruh, dan menawarkannya sebagai sistem ekonomi alternatif, walaupun akan mendapat perlawanan sengit dari penganut sosialis dan kapitalis.
Konsep distribusi ekonomi yang selama ini terjadi di masyarakat saat ini menimbulkan kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Distribusi pendapatan misalnya, hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Contoh yang paling tepat adalah konsep kapitalis, karena konsep inilah yang sekarang banyak dianut negara-negara di dunia. Sistem kapitalis mendorong penganutnya supaya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara apapun, sehingga mengabaikan sesamanya.
Islam mempunyai konsep yang baik dalam hal pendistribusian harta ini. Banyak cara mendistribusikan harta, misalnya dari orang-orang kaya dapat menyalurkan hartanya dengan cara berzakat, infak, sedekah, dan wakaf. Jika digunakan dalam sistem yang produktif, konsep-konsep ini bisa membuat masyarakat lebih sejahtera, karena harta tidak berputar di kalangan orang kaya saja.
”...supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu...” (Al-Hasyr: 7)
Uraian di bab 2 menjelaskan mengenai beberapa konsep distribusi pendapatan dan kekayaan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Distribusi Pendapatan
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi adalah kepemilikan pribadi (private). Oleh karena itu permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada kepemilikan, pendapatan dan harta pusaka peninggalan leluhur masing-masing. Milton H. Spencer (1977), menulis dalam bukunya Contemporary Economics: “Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untu mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.” (Winardi : 1986)
Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Para individu memperoleh perangsang agar aktiva mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin. Hal tersebut agar mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia.
Sedang sosialis lebih melihat kepada kerja sebagai basis dari distribusi pendapatan. Setiap kepemilikan hanya bisa dilahirkan dari buah kerja seseorang. Oleh sebab itu, adanya perbedaan dalam kepemilikan tidak disebabkan oleh kepemilikan pribadi tapi lebih kepada adanya perbedaan pada kapabitalis dan bakat setiap orang. Brinton (1981) menyebutkan bahwa “sosialisme dapat diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis seperti pertambangan, jalan-jalan dan jembatan, kereta api, serta cabang-cabang produk lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak”.
      Komunis sebagai bentuk dari sosialisme yang paling ekstrem lebih menekankan bahwa kebutuhan adalah dasar dari sistem distribusi, dimana pendistribusian menjadi penting untuk diarahkan kepada penyediaan segala hal yang dapat memberi kepuasan pada hajat dasar hidup penganutnya. Sistem ini menyakini bahwa, dengan cara tersebut, fenomena perbedaan dalam pendapatan ataupun kelas sosial dapat dieleminasi dan bahkan dihapus.
Ini artinya yang menjadi fokus dari sistem distribusi pendapatan Islam adalah proses distribusinya dan bukan output dari proses distribusi tersebut. Dengan demikian jika pasar mengalami kegagalan (failure) ataupun not fair untuk berlaku sebagai instrumen distribusi pendapatan, maka frame fastabiqul khairaat akan mengarahkan semua pelaku pasar berikut perangkat kebijakan pemerintahnya kepada proses redistribusi pendapatan.
Proses redistribusi pendapatan dalam Islam mengamini banyak hal yang berkaitan dengan moral endogeneity, signifikansi dan batasan-batasan tertentu, diantaranya:
a.       Sebagaimana utilitiarianisme, mempromosikan ‘greatest good for greatest number of people’, dengan ‘good’ dan ‘utility’ diharmonisasikan dengan pengertian halal-haram, peruntungan manusia dan peningkatan utility manusia adalah tujuan utama dari tujuan pembangunan ekonomi.
b.      Sebagaimana liberitarian dan Marxism, pertobatan dan penebusan dosa adalah salah satu hal yang mendasari diterapkannya proses redistribusi pendapatan.
c.       Sistem redistribusi diarahkan untuk berlaku sebagai faktor pengurang dari adanya pihak yang merasa dalam keadaan merugi ataupun gagal.
d.      Mekanisme redistribusi berlaku secara istimewa, karena walaupun pada realitasnya distribusi adalah proses transfer kekayaan searah, namun pada hakikatnya tidak demikian.
Sedangkan standar atau indikator kebutuhan dan batasan yang mendasari sistem distribusi pendapatan Islam adalah maqasid syariah (kebutuhan dan batasan dalam mengakomodir kebutuhan paling dasar bagi setiap muslim, yaitu : aspek agama, diri, akal, keturunan, dan harta). Para ekonom meyakini bahwa antara pertumbuhan, efisiensi, equity dan ketidakseimbangan pendapatan ada hubungan berkesinambungan. Untuk itu kajian distribusi diarahkan kepada paling tidak empat hal, antara lain :
1.      Sumber daya manusia/alam
2.      Pasar terbuka, terutama berkaitannya dengan struktur produksi, dinamika tenaga kerja dan relativitas upah buruh
3.      Model ekonomi politik (siyasah al iqtishodiyah) yang menegaskan eksistensi konflik-konflik sosial politik dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah yang berdampak secara langsung dan tidak langsung kepada distribusi pendapatan
4.      Model restriksi khususnya untuk masalah kredit dengan basis hipotesis kepada ketidaksempurnaan pasar dan teori-teori yang berkaitan dangan moral hazard dan adverse selection.

Berbeda dengan ajaran ekonomi manapun, ajaran Islam dalam mendistribusikan pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah persyaratan (karakteristik khusus) pada aset wajib zakat. Untuk lebih jelasnya, skala prioritas dan karakteristik aset adalah sebagai berikut :
Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama yang harus didistribusikan dari sejumlah aset, adalah :
a.       Jika masih surplus, dahulukan membayar utang
b.      Karena Nabi menyatakan ‘menunda membayar hutang adalah zalim’. Disinilah letak keindahan Islam, yang menentukan bahwa: Islam melarang meminta tingkat pengembalian tertentu dari uang yang dipiutangkan kepada orang lain.

Kemudian dari sisa aset yang ada, yang harus diprioritaskan adalah  distribusi melalui zakat. Namun harus dilihat terlebih dahulu karakter dari sisa aset tersebut, yaitu:
a.       Apakah sisa aset itu di atas nisab
b.      Kepemilikan sempurna
c.       Sudah genap satu tahun kepemilikan dan potensi produktif
Bila diperhatikan secara seksama, setiap instrumen yang ditawarkan Islam dalam memecahkan permasalahan ketidaksetaraan pendapat antarrumah tangga, pada dasarnya dapat disesuaikan dengan daur hidup pencarian kekayaan manusia secara umum, yaitu :
1.      Accumulation Phase (Fase Akumulasi), yakni tahap awal sampai pertengahan karier. Fase ini individu mencoba meingkatkan asetnya (kekayaan) untuk dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek. Dan fase ini yang terjadi adalah distribusi pendapatan antaranggota keluarga (nafaqah)
2.      Consolidation Phase (Fase Konsolidasi) : individu yang berada dalam fase ini biasanya telah melalui pertengahan perjalanan kariernya. Biasanya pendapatan melebihi pengeluaran. Untuk itu, pada setiap kelebihan asetnya, individu dapat melaksanakan kewajiban zakat dan instrumen-instrumen lainnya yang lebih terkait kepada perayaan rasa syukur, seperti: udhiyah, akikah, dan infak.
3.      Spending Phase/Gifting Phase: fase ini secara umum dimulai pada saat individu memasuki masa pensiun. Pada fase ini, kewajiban untuk memberi nafkah keluarga akan berkurang, seiring akan semakin dewasanya anak yang menjadi tanggungan.

Untuk itu, jika individu pada fase ini masih mempunyai produktivitas tinggi (kelebihan materi), maka kesempatan terbuka bagi individu tersebut untuk memberikan sebagian hartanya melalui instrumen yang mengarahkan kepada kepentingan dan fasilitas umum (sosial). Seperti memberi wakaf dan menuliskan wasiat.
Dengan demikian, sudah seharusnya seorang muslim giat bertransaksi, berproduksi. Dan berinvestasi menciptakan pasar berbasis halal-haram dan bersaing di pasar tersebut sepanjang tahun, dengan tentunya secara sunnatullah mereka yang berpengalaman, berpendidikan, bermodal akan sangat besar kemugkinannya menjadi pemenang (peningkatan pendapatan).

Sewa
Tidak ada bukti bahwa konsep sewa dalam arti istilah modern telah dikembangkan selama masa hayat Nabi Muhammad Saw. Barangkali di masa itu tidak terdapat kekurangan tanah. Tetapi kebutuhan akan sistem tanah yang berlangsung lama dan permanen telah dirasakan selama Khalifah ‘Umar, sebagai akibat penaklukan Irak, Suriah, Iran dan Mesir. Konsep sewa dalam bentuknya yang sederhana telah berkembang tidak hanya karna langkah revolusioner ‘Umar dengan larangan pembelian tanah oleh kaum muslimin di wilayah yang ditaklukkan, tetapi juga karena dihentikannya praktek mendistribusikan tanah taklukan di kalangan kaum muslimin. Dengan demikian ‘Umar mengizinkan para penggarap tanah asli untuk membudidayakan tanah mereka berdasarkan pembayaran Kharaj dan Jizyah.
Tetapi persoalan pokok yang mengganggu pikiran banyak sarjana muslim dan bukan muslim, bukanlah mengenai apakah konsep sewa berkembang selama Khalifah ‘Umar  atau pada suatu periode berikutnya dalam sejarah Islam, tetapi apakah tingkat sewa tetap yang kelihatannya serupa dengan tingkat bunga masih diperbolehkan dalam Islam. Sebelum menjawab pertanyaan ini akan dibicarakan dengan singkat tentang konsep modern sewa ekonomik. Menurut Ricardo,  sewa adalah bagian hasil tanah yang dibayarkan kepada tuan tanah untuk penggunaan kekayaan  tanah asli dan tak dapat rusak. Menurut dia sewa adalah surplus diferensial. Ia merupakan selisih hasil tanah mutu unggul dan hasil tanah mutu rendah. Mungkin juga timbulnya sewa karena kesulitan tanah sehubungan dengan permintaan. Professor Marshall dengan tepat mengatakan bahwa perbedaan antara sewa diferensial dengan sewa kelangkaan hanyalah soal perbedaan pendekatan saja. Sewa yang diperoleh sebidang tanah dapat dianggap sebagai sewa diferensial, jika kita bandingkan hasilnya dengan hasil sebidang tanah mutu rendah atau marjinal saat kedua bidang tanah itu diolah dengan alat-alat sejenis. Sebaliknya sama, sewa yang diperoleh bidang tanah yang sama dapat dipandang sebagai sewa kelangkaan, suatu bentuk sewa yang timbul karena kekurangan penyediaan menyeluruh dibandingkan dengan permintaan terhadap jenis tanah ini. Tanah mutu unggul memperoleh kelangkaan yang tinggi karena terbatasnya penyediaan menyeluruh tanah itu dibandingkan dengan permintaan menyeluruh untuk itu. Kemungkinan lain, tanah mutu unggul memperoleh sewa diferensial yang tinggi karena perbedaan besar antara hasilnya disbanding dengan hasil tanah mutu rendah. Sesungguhnya, hakikat pengertian sewa adalah pengertian tentang satu surplus yang diperoleh suatu kesatuan khusus faktor produksi yang melebihi penghasilan minimum yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya. Secara historik dan harfiah, pengertian ini  sangat dekat dengan gagasan pemberian alam bebas yang oleh para ahli ekonomi disebut dengan istilah tanah. Karena adanya tanah tidak disebabkan oleh manusia maka dalam pengertian para ahli ekonomi, seluruh penghasilan tanah dapat disebut sebagai sewa. Karena pemberian alam secara cuma-cuma, maka tidak diperlukan pembayaran untuk mengerjakannya.
Tetapi tidak ada alasan untuk menganggap bahwa sewa dipautkan dengan tanah saja. Satuan khusus faktor produksi lainnya (seperti buruh modal, dan kewirausahaan) dapat juga memperoleh sewa, bila saja balas jasa mereka ternyata melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk mempertahankan faktor itu pada kedudukannya yang sekarang.

Upah
Upah mengacu pada penghasilan tenaga kerja. Upah dapat kita pandang dari dua segi, yaitu moneter dan bukan moneter. Jumlah uang yang diperoleh seorang pekerja selama suatu jangka waktu, katakanlah, sebulan, seminggu, atau sehari, mengacu pada upah nominal tenaga kerja. Upah sesungguhnya dari seorang buruh tergantung pada berbagai faktor seperti jumlah upah berupa uang, daya beli uang, dan seterusnya, yang boleh dikatakan terdiri dari jumlah kebutuhan hidup yang sebenarnya diterima oleh seorang pekerja karena kerjanya: “pekerja kaya atau miskin, diberi imbalan baik atau buruk, sebanding dengan harga nyata, bukan harga nominal atas jerih payahnya.” (Adam Smith).
Teori upah yang pada umumnya diterima adalah teori Produk Marjinal. Menurut teori ini upah ditentukan oleh keseimbangan antara kekuatan permintaan dan persediaan. Dengan mengasumsikan penyediaan tenaga kerja dalam suatu jangka waktu yang panjang dan konstan, maka permintaan akan buruh dalam suatu kerangka masyarakat kapitalis, datang dari majikan yang mempekerjakan buruh dan faktor produksi lainnya untuk membuat keuntungan dari kegiatan usahanya. Selama hasil bersih tenaga kerja lebih besar dari tarif upah itu, majikan akan terus mempekerjakan semakin banyak satuan tenaga kerja. Tentu saja ia akan berhenti mempekerjakan tenaga kerja tambahan pada batas dimana biaya mempekerjakan buruh justru sama dengan (sesungguhnya kurang sedikit dibandingkan dengan) tambahan yang dilakukannya pada nilai jumlah hasil bersih. “masing-masing majikan, seperti halnya masing-masing konsumen, memberi upah buruh yang akan bernilai sama dengan hasil kerja marjinal dengan tarif upah yang berlaku. Hal itu merupakan permintaan semua majikan yang terjadi dalam keseluruhan hubungan persediaan tertentu yang menentukan produk marjinal tenaga kerja secara keseluruhan dan tarif upah dipasaran.”
Sekalipun Teori Produk Marjinal mengenai upah, yang telah banyak mendapat kecaman, dianggap benar, namun hal ini akan tetap absah hanya dalam kondisi persaingan yang benar. Tetapi dalam dunia yang sesungguhnya, persaingan tidak murni. Mungkin saja terdapat kurang persaingan dikalangan para majikan. Sebagaimana diketahui diantara semua komoditi, tenaga kerjalah yang paling tidak tahan lama. Sebaliknya majikan sendiri berada dalam posisi yang menguntungkan. Profesor Marshall berkata, “ingatlah bahwa seorang yang mempekerjakan seribu orang lain, seolah-olah merupakan suatu gambaran yang tetap dari seribu unit dikalangan pembeli di pasaran tenaga kerja.” Disebabkan oleh kelemahan mereka dalam perundingan, maka para tenaga kerja dibawah kapitalisme mungkin mendapat upah yang jauh lebih rendah dari produk marjinal mereka.
Pengisapan terhadap buruh oleh para majikan dilarang oleh Islam. Dalam hal ini adalah membesarkan hati untuk mengutip pernyataan Nabi Besar SAW, “Manusia tidak berhak atas bagian yang tidak diberikan Tuhan kepadanya. Tuhan memberikan kepada seriap orang haknya, oleh karena itu jangan mengganggu apa yang dimiliki orang lain.” Nabi SAW juga mengatakan: “upah seorang buruh harus dibayarkan kepadanya sebelum keringat dibadannya kering.” Selanjutnya diriwayatkan dari Ibnu Majah bahwa Nabi SAW berkata: “kewajiban para majikan hanya menerima pekerjaan yang mudah dilakukan oleh para karyawannya. Janganlah mempekerjakan mereka sedemikian rupa sehingga berakibat buruk bagi kesehatannya.” Pada kenyataannya, dalam pola suatu masyarakat Islam, upah yang layak bukanlah suatu konsesi, tetapi suatu hak asasi, yang dapat dipaksakan oleh seluruh kekuasaan negara. Bila reorientasi sikap negara telah dilaksanakan, maka penetapan upah dan perumusan produktivitas sesungguhnya hanya merupakan soal penyesuaian yang tepat. Di semua negara Islam di dunia, sangat diperlukan ditegaskannya kembali cita-cita dinamik yang mengatur undang-undang perburuhan, dan menerima prinsip hak-hak buruh yang diakui seluruh dunia seperti, hak untuk: mogok, mendapatkan upah yang layak, jaminan sosial, laba, dan lain-lainnya. Diterimanya hak-hak ini tidak berarti bahwa para pekerja akan mempunyai kebebasan tidak terbatas untuk melakukan apa saja. Islam mengutuk penyelewengan atau kecurangan dalam menggelapkan apapun milik majikan. Nabi SAW diriwayatkan berkata: “penghasilan terbaik ialah penghasilan seorang pekerja, dengan syarat ia melakukan peerjaannya dengan hati-hati dan ia hormat kepada majikannya.” Negara Islam memiliki wewenang untuk mengekang kegiatan anti sosial pekerja dalam bentuk apapun.
Sesungguhnya Islam menghendaki pertumbuhan masyarakat yang berimbang. Untuk ini kompromi antar buruh dan majikan dianggap sebagai syarat yang hakiki. Jika para pekerja dan majikan diresapi oleh nilai-nilai Islam, larangan terhadap pemogokan dan ditutupnya tempat-tempat kerja menjadi tidak perlu, dan relatif tidak penting. Sekarang ini, persoalan pokok yang dihadapi negara-negara Islam bukanlah bagaimana melarang atau membatasi pemogokan melainkan bagaimana menanamkan nilai-nilai kehidupan Islam dalam hubungan antara buruh dan majikan.

Dampak Distribusi Pendapatan dalam Islam
Distribusi pendapatan merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan. Dampak dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan politik. Oleh karena itu Islam memberi perhatian lebih terhadap disribusi pendapatan masyarakat. Maka Islam memperhatikan berbagai sisi dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Misalnya dalam jual-beli, hutang piutang, dan sebagainya. Dampak yang ditimbulkan dari distribusi pendapatan yang didasarkan atas konsep islam.
Dalam konsep Islam perilaku distribusi pendapatan masyarakat merupakan bagian dari bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah.Seorang muslim akan menghindari praktek distribusi yang menanggung barang-barang yang merusak masyarakat. Misalnya, minuman keras, obat terlarang.
Negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok. Negara mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas publik yang berhubungan dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti sekolah, rumah sakit.

B.     Distribusi Kekayaan
Distribusi kekayaan adalah pembagian kekayaan (keuntungan negara) atas faktor-faktor produksi. Distribusi kekayaan dalam masa sekarang ini merupakan suatu permasalahan yang sangat penting dan rumit dilihat dari keadilannya dan pemecahannya yang tepat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh masyarakat. Tidak diragukan lagi bahwa pendapatan sangat penting dan perlu, tapi yang lebih penting lagi adalah cara distribusi. Jika apra penghasil itu rajin dan mau bekerja keras, mereka akan dapat meningkatkan kekayaan negara. Akan tetapi, jika distribusi kekayaan itu tidak tepat, maka sebagian besar kekayaan ini akan masuk ke dalam kantong para kapitalis, sehingga akibatnya banyak masyarakat yang menderita kemiskinan dan kelebihan kekayaan negara tidak mereka nikmati.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak sepenuhnya tergantung pada hasil produksi itu sendiri, tapi juga pada distribusi pendapatan yang tepat. Kekayaan mungkin bisa dihasilkan secara berlebihan di setiap negara, tapi distribusi tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip dan kebenaran keadilan, sehingga negara tersebut belum dapat dikatakan berhasil.
Bahkan dalam masyarakat modern yang makmur di mana terdapat kekayaan yang melimpah, pembagian kekayaan itu sendiri belum merata sehingga masih banyak warga negara yang menderita kemiskinan. Semua itu disebabkan karena distribusi kekayaan yang tidak tepat, yaitu ada sekelompok masyarakat yang kehilangan hak bagiannya. Hal itu bisa menimbulkan kesedihan dan juga kemarahan.

Prinsip-prinsip Distribusi Kekayaan
Masalah distribusi kekayaan yang sulit dan rumit sekaligus penting itu telah mendapat perhatian khusus. Banyak pakar ekonomi filsafat dan politik telah beberapa kali membahas masalah itu, dalam berbagai kesempatan dan mencoba untuk menyelesaikannya, meskipun mereka telah mencoba usaha yang terbaik tetapi akhirnya mereka tetap gagal menemukan penyelesaian yang tepat. Di kalangan mereka sering terjadi perbedaan pendapat sehingga tidak satu pun jawaban yang mampu memecahkan persoalan tersebut. Akibatnya masalah tersebut tetap tinggal sebagai suatu tantangan bagi para pemikir sampai saat ini.
Sekelompok pemikir berpandangan bahwa seseorang individu seharusnya memiliki kebebasan sepenuhnya supaya bisa menghasilkan sejumlah kekayaan yang maksimum dengan menggunakan kemampuan yang dia miliki. Juga mengingatkan agar tidak membatasi hak individu atas hartanya dengan memberikan pembagian harta yang tidak adil. Sementara pemikir lain berpendapat bahwa kebebasan secara individual tetap akan berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat. Oleh karena itu, hak individu atas harta yang dimilikinya sebaiknya dihapuskan dan semua wewenang dipercayakan kepada masyarakat agar dapat mempertahankan persamaan ekonomi di dalam masyarakat.
Bertolak dari kedua pendapat, berdirilah ekonomi Islam yang mengambil jalan tengah, yaitu membantu dalam menegakkan suatu sistem yang adil dan merata. Sistem ini tidak memberikan kebebasan dan hak atas milik pribadi secara individual dalam bidang produksi, tidak pula mengikat mereka dengan satu sistem pemerataan ekonomi yang seolah-olah tidak boleh memiliki kekayaan secara bebas. Prinsip utama dari sistem ini adalah peningkatan dan pembagian hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, yang mengarah pada pembagian kekayaan yang merata di berbagai kalangan masyarakat yang berbeda dan tidak hanya berfokus pada beberapa golongan tertentu.
Al-Qur’an telah menjelaskan prinsip Islam dalam surat Al-Hasyr ayat 7:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu...”
Ayat ini mengungkapkan prinsip pengaturan distribusi kekayaan dalam sistem kehidupan Islam; kekayaan harus dibagi kepada semua golongan masyarakat dan seharusnya tidak menjadi komoditi di antara golongan kaya saja.
Al-Qur’an telah menetapkan langkah-langkah tertentu untuk mencapai pemerataan pembagian kekayaan dalam masyarakat secara objektif. Al-Qur’an juga melarang adanya bunga dalam bentuk apapun, di samping memperkenalkan hukum waris yang memberikan batasan kekuasaan bagi pemilik harta untuk suatu maksud dan membagi semua kekayaannya di antara kerabat dekat apabila meninggal. Tujuan dari hukum-hukum ini adalah untuk mencegah pemutusan kekayaan kepada golongan-golongan tertentu. Selanjutnya langkah-langkah positif yang diambil untuk membagi kekayaan kepada masyarakat yaitu dengan melalui kewajiban mengeluarkan zakat, infaq dan pemberian bantuan kepada orang-orang miskin dan yang menderita akibat pajak negara.

Zakat
Zakat adalah langkah yang sah digunakan negara untuk membagi-bagi harta di antara masyarakat. Langkah ini merupakan suatu pungutan wajib yang dikumpulkan dari orang-orang muslim yang kaya dan diserahkan kepada orang-orang miskin. Menurut terminologi para ahli fiqih, zakat adalah sumbangan keuangan yang wajib bagi setiap muslim yang mempunyai kekayaan di atas batas tertentu. Ini merupakan sumbangan yang teratur yang dikumpulkan dan diedarkan melalui negara.
Sebenarnya zakat merupakan suatu kewajiban yang diperintahkan agama atas orang-orang berharta dalam kehidupan bermasyarakat dan dipandang sebagai urutan kedua yang terpenting setelah ibadah harian. Al-Qur’an telah menetapkan tentang pembayarannya. Manakala kaum muslimin diperintahkan untuk mendirikan shalat secara teratur, mereka diperintahkan juga untuk membayar zakat. Dalam surat yang At-Taubah ayat 8, orang-orang Islam diperintahkan mendirikan shalat dan membayar zakat:
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat dan menunaikan zakat...” (At-Taubah: 18)
Masih banyak ayat-ayat lain yang memerintahkan orang Islam untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Kedua kewajiban tersebut bagi orang-orang Islam yang diungkapkan dengan kata-kata “Orang-orang yang teguh dalam sembahyang dan menunaikan zakat” diulang-berkali-kali dalam Al-Qur’an.
Tujuan utama zakat adalah membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang yang miskin dan melarat sehingga tidak ada seorang pun yang menderita dalam suatu negara. Dan zakat tersebut dikumpulkan dari orang-orang miskin, hal tersebut juga membantu dalam penyebaran kekayaan dalam masyarakat bagi orang-orang yang berharta yang melebihi kebutuhan bagi orang-orang yang berharta yang melebihi kebutuhan mereka hendaklah menyumbangkannya kepada Badan Dana Zakat Nasional, semenatara itu orang-orang yang kekurangan akan menerima bantuan dari Badan tersebut.

Wakaf
Instrumen wakaf, sebagai salah satu sistem distribusi harta kekayaan, sampai saat ini masih belum dikembangkan secara profesional. Artinya, wakaf belum dapat menunjukkan kontribusinya sebagai pilar perekonomian sebagaimana zakat. Padahal, sebagai sarana ibadah yang berdimensi sosial, wakaf mengandung filosofi dan hikmah yang besar bagi kehidupan manusia.
Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqf yang berarti menahan, mengekang, menghentikan. Pengertian wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah SWT.Wakaf, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, memiliki kekhasan, yaitu harus tetap nilai pokoknya. Sedangkan yang dapat dimanfaatkan adalah hasil dari pengelolaan wakafnya.  Ibadah wakaf didasari oleh Al Quran surat Ali Imran Ayat 92:
Artinya, “Kalian sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum  kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Keutamaan pahala wakaf, tidak diragukan lagi. Jaminan amalan ini sebagai amal jariyah yang pahalanya akan tetap mengalir meski orang yang berwakaf telah meninggal dunia, sebagaimana pahala anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya dan ilmu yang bermanfaat.
Dalam hal pemanfaatan hasil pengelolaan wakaf, Didin Hafidhuddin mengatakan bahwa optimalisasi penerima wakaf bisa lebih luas dibanding zakat, karena tidak ada kualifikasi penerima manfaat wakaf, sedangkan penerima zakat (mustahiq) dibatasi pada 8 ashnaf penerima zakat. Artinya bahwa manfaat wakaf dapat disalurkan/digunakan untuk berbagai keperluan, selama tidak menyimpang dari ketentuan syar’i.
BAB III
KESIMPULAN

Beberapa konsep distribusi pendapatan dalam Islam di antaranya adalah sewa dan upah. Sewa menurut Ricardo adalah bagian hasil tanah yang dibayar kepada tuan tanah untuk penggunaan kekayaan tanah asli dan tak dapat merusak. Menurut dia sewa adalah surplus diferensial. Ia merupakan selisih dengan hasil tanahmutu unggul dengan hasil tanah mutu rendah. Mungkin juga timbulnya sewa karena kesulitan tanah sehubung dengan permintaan.
Sedangkan mengenai upah, Nabi bersabda: “upah seorang buruh harus dibayar kepadanya sebelum keringat di badannya kering.”  Selanjutnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Nabi juga bersabda: “kewajiban para majikan hanya menerima pekerjaan yang mudah dilakukan oleh para karyawannya, janganlah mempekerjakan dia sedemikian rupa sehingga berakibat buruk pada kesehatannya” 
Contoh distribusi kekayaan dalam makalah ini adalah zakat dan wakaf. Zakat, menurut terminologi para ahli fiqih, adalah sumbangan keuangan yang wajib bagi setiap muslim yang mempunyai kekayaan di atas batas tertentu. Ini merupakan sumbangan yang teratur yang dikumpulkan dan diedarkan melalui negara.
Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqf yang berarti menahan, mengekang, menghentikan. Pengertian wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah SWT.Wakaf, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, memiliki kekhasan, yaitu harus tetap nilai pokoknya. Sedangkan yang dapat dimanfaatkan adalah hasil dari pengelolaan wakafnya.



DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
Manan, Muhammad Abdul.1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Jogjakarta: Dana Bhakti Wakaf
Nasution, Mustafa Edwin. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana

An-Nabhani, Taqyuddin. 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti

No comments:

Post a Comment