Menikmati Sepak Bola

Kekalahan Manchester United dari sang tetangga berisik, Manchester City, Selasa kemarin menyiratkan kesedihan bagi fans MU di seluruh dunia, tidak terkecuali saya. Geram, kesal, diam, menggerutu, dan lain-lain, semuanya bercampur baur menjadi satu. Dan karena ini, saya punya teori baru.

Menjadi fans sebuah klub sepak bola tidak berbeda jauh dengan memiliki seorang pacar. Dulu, saya sering bertanya pada beberapa teman, buat apa punya pacar? Rata-rata mereka menjawab untuk penyemangat belajar, supaya kalau sedang malas ada yang menyemangati. Namun, ketika mereka sedang bermasalah dengan pacarnya, semangat yang dijanjikan itu entah kemana. Buyar.

Seorang fans klub sepakbola, merasa sangat bahagia dan bersemangat ketika tim kesayangannya meraih kemenangan. Namun harus siap di-bully ketika mengalami kekalahan. Dan kondisi ini bisa fluktuatif, bergantung hasil yang dicapai klub yang disayangi. Kadang mem-bully, kadang di-bully, hehe...

Sepak bola menjadi selingkuhan bagi laki-laki yang sudah beristri. Menjadi selingkuhan juga bagi laki-laki yang belum menikah yang malah memilih menonton sepak bola daripada mengunjungi kekasihnya pada malam minggu. Sepak bola memberi sedikit kebahagiaan bagi rakyat miskin yang tak kunjung dibahagiakan pemerintah. Walaupun kecil, sepak bola secara rutin memberi kebahagiaan itu setiap pekan.

Kerumunan laki-laki yang berkumpul di sebuah warung kopi –membicarakan sepak bola-- tahu betul komentar mereka tidak akan didengar pengamat sepak bola terkemuka, apalagi presiden FIFA. Tapi mengomentari hasil pertandingan yang baru saja berakhir tadi malam adalah sebuah kebahagiaan yang tak bisa digambarkan. Menganalisa pemain-pemain kelas dunia yang bahkan jika dibandingkan pemain kita bagaikan bumi dan langit, adalah sebuah seni menikmati sepak bola ala rakyat kecil.

Sepak bola, dengan segala keunikan dan keistimewaannya, telah memberi warna untuk kehidupan banyak orang.