Friday 11 September 2015

Selesai dalam Sepuluh Hari


Hmm…

Sudah lama sekali gak nulis di blog ini.

Enam bulan ke belakang saya disibukkan dengan tugas akhir alias skripsi yang tak kunjung selesai. Sebenarnya saya sudah melaksanakan seminar proposal sejak 28 Februari 2015. Alhamdulillah saat itu langsung lulus walaupun ada perbaikan. Ketika menyerahkan surat permohonan bimbingan kepada Ketua Jurusan (Bapak Cecep Castrawijaya, MA), saya bilang ke beliau kalau bisa jangan dipilihkan dosen yang sibuk, sebab saya harus ngajar dan membina anak-anak asrama di Bogor. Beliau hanya tersenyum, sambil menyerahkan proposal skripsi saya yang telah beliau acc dan ditulis nama pembimbing saya di situ: Prof. Dr. Murodi, MA.

What? Minta yang gak sibuk malah dikasih Wakil Rektor! Dan saya juga agak nervous ketika itu, sebab Prof. Murodi biasanya terkenal pedas kalau mengomentari sesuatu, apalagi yang bersifat tidak ilmiah, hehe… pesan moralnya adalah: Jika kamu mahasiswa, tulislah hal-hal ilmiah, atau hal-hal yang ‘tampak seperti ilmiah.’

Awal Maret 2015 memang jadi pembeda dalam kehidupan saya menjelang akhir kuliah saya. Waktu itu kawan saya Imam Akbari, menyodorkan nama saya ke Pak Duduh Nurzaman, Direktur Madrasah Mu’allimien Muhammadiyah, untuk jadi pembina asrama di Mu’allimien. Saya pikir kurang sopan jika menola permintaan guru saya. Kalau melihat jadwal kuliah yang sudah tidak ada lagi, seminar proposal skripsi juga sudah lewat, maka saya terima saja tawaran beliau. Perkiraan saya waktu itu saya bisa mengerjakan skripsi, mondar mandir Leuwiliang – Ciputat untuk bimbingan, sambil mengurus anak-anak asrama.

Kenyataannya tidak demikian…

Sebagai seorang Wakil Rektor, tentu saja kesibukan Prof. Murodi tidak usah dipertanyakan. Saya sebagai mahasiswa gak penting ini harus memonitor kapan beliau ada di kantor. Ada kalanya saya hanya membuang-buang waktu berangkat dari Leuwiliang ke Ciputat, hanya untuk duduk-duduk saja di depan rektorat. Beliau sms ketemu jam 2 siang, sampai jam 4 gak muncul juga. Ya sudahlah, saya kembali ke Leuwiliang. Waktu itu saya hanya mau mengambil revisian bab satu.

Sehari setelahnya saya titip pesan ke teman yang satu bimbingan untuk mengambil revisian saya. Dia menelpon saya dan memberitahu bahwa dia bertemu Prof. Murodi.

“Kirain udah saya buang!” begitu jawaban Prof. Murodi ke teman saya ketika dia minta revisian skripsi saya.

“Makanya kamu ambil sendiri, jangan dititip, ga sopan,” sambungnya.

Saya juga gak berniat dititip. Sudah dua hari saya tunggu di depan kantornya namun tak muncul juga. Tapi bagaimanapun itu kesalahan saya. Tambah nervous saja.

Sebenarnya Prof. Murodi itu ramah. Bisa jadi waktu itu temans saya saja yang berlebihan dalam hal penyampaian. Begitulah kebanyakan kita, jika menyampaikan cerita, selalu menyampaikannya dengan versi yang lebih dramatis. Terkadang menyeramkan.

Keramahannya terasa ketika saya menemui beliau untuk bimbingan bab satu sampai tiga. Saya memohon maaf karena waktu itu menyuruh teman untuk mengambil revisian.

“Pertanyaannya mau selesai gak ini?” tanya beliau sambil setengah bercanda.

“Iya pak…” sependek itu saya menjawab. Tegang.

………………

Bimbingan terakhir itu dilaksanakan awal April.

Setelah itu, selama empat bulan saya gak pernah bimbingan lagi. Mengurus anak-anak asrama lumayan menguras emosi. Banyak anak-anak yang membuat saya senang-senang saja. Banyak juga yang membuat stres. Pikiran saya ga fokus mengerjakan skripsi. Sampai setelah lebaran saya lebih sibuk mengurus yang lain daripada skripsi saya.

Malu hayati bang pada dosen pembimbing hayati…

Banyak kerabat, teman, guru dan lain-lain sering bertanya, “sudah beres belum skripsinya?” jawabannya selalu sama, “belum.”

Yang paling mengganggu adalah pertanyaan dari orang tua. Dengan susunan kata yang sama, intonasi yang sama dengan pihak lain, namun mendatangkan perasaan dan pikiran yang berbeda.

Pada akhirnya, awal september ini saya memutuskan untuk kembali ke kampus dan fokus menyelesaikan skripsi saya. Saya kerjakan bab empat dan lima, kemudian menghadap Prof. Murodi. Sebetulnya september ini masa bimbingan saya sudah habis. Saya takut itu dipermasalahkan dan saya harus mengulang seminar proposal. Namun kasih sayang Allah datang menghampiri di gerbang masuk kampus. Allah mempertemukan saya dengan Prof. Murodi di gerbang kampus. Saya menghentikan laju motor, kemudian turun untuk menemui beliau yang sedang… entahlah, saya tidak tahu apa yang beliau pantau.

“Maaf pak, saya baru menghadap bapak lagi. Narasumber saya baru bersedia diwawancarai hari ini ba’da sholat jum’at. Saya juga sakit pak sebelum ramadhan”, saya memulai percakapan dengan wajah memelas.

“Ooh… kecapean itu… jangan cape-cape lah,” jawabnya dengan wajah yang sedang bahagia.  Saya tidak menyangka jawaban beliau seperti itu.

“Masa bimbingan kan enam bulan, pak. Sementara saya sudah lewat enam bulan. Bagaimana ini pak?”

“Emang biasanya juga begito,” dengan logat betawi. “Bimbingan tetap lanjut, kamu lapor aja ke kajur, sudah persetujuan saya.”

Alhamdulillah…

Dengan modal ‘motivasi’ dari Prof. Murodi itu, saya kebut bab empat dan lima saat itu juga. Hari senin saya kembali menemui beliau untuk menyetor bab satu sampai lima. Beliau minta dititipkan ke stafnya. Staf kantor rektorat baru. Kalau mas ini sudah ada sejak 4 bulan lalu, mungkin kejadian “kirain udah saya buang …” tidak akan pernah ada. Tapi ya sudah lah, itu sudah terjadi.
Hari selasa, saya tanya melalui sms, “apakah skripsi saya sudah bisa diambil, pak?”

“Sudah, banyak catatan.”

Deg deg deg…

Saya langsung datang ke kantor rektorat menemui beliau.
Semprotan-semprotan berupa dialog tak perlu lah saya uraikan. Hayati malu...

Wajah ramah hari jum’at itu seketika hilang.

Singkat saja. Sehari setelah itu, saya langsung menyerahkan lagi revisi akhir bab satu sampai lima. Alhamdulillah yang terakhir ini beliau setujui. Gak ada lagi kalimat, “KAMU GAK BACA BUKU CEQDA!”

Buku terbitan Ceqda adalah buku panduan penulisan skripsi, tesis dan disertasi di UIN Jakarta. Konon, beliau salah satu penyusunnya. Pantas saja, saya habis.

Di sela-sela mengejar Prof. Murodi, saya juga mondar mandir fakultas – akademik – rektorat untuk mengurus persyaratan administrasi sidang. Sekadar info saja, bagi kalian yang sibuk kerja, sibuk ngajar, sibuk organisasi, luangkan waktu satu pekan saja untuk mengurus hal-hal seperti ini. Kalau fokus, insya Allah beres. Sebab, dalam prosesnya, selalu ada hambatan tak terduga. Kadang kala petugas akademiknya tidak ada, atau bersikap menyebalkan dan lain-lain.

Saya mendaftarkan diri untuk mengikuti sidang skripsi. Tanggal sidang langsung keluar: 10 September 2015 !

Tibalah harinya. Penguji saya adalah Bapak Suparto, Ph.D, dan Bapak Drs. Hasanudin, MA. Banyak sekali catatan dari kedua penguji ini. Walaupun begitu, nilai saya cukup memuaskan. Angka dirahasiakan.

Beban di pundak lepas begitu saja, hanya dalam sepuluh hari. Enam bulan bayang-bayang skripsi yang tak kunjung selesai bisa rampung hanya dalam waktu sepuluh hari.
Ini bukan akhir. Revisi belum selesai. Tetapi, pembacaan hasil sidang dari Pak Suparto yang menyatakan saya lulus, membuat saya lega akhirnya bisa menyelesaikan semuanya. Perkara revisi, memang sudah biasa di dunia persidangskripsian.

Huft… Cape juga ya cerita kesana kemari. Seingat saya baru kali ini saya curhat di blog saya, hehe… 


No comments:

Post a Comment