Pada bagian ini akan dijelaskan konsep da'i
sebagai pengembang masyarakat Islam. Pembahasan ini penting, karena konsep da'i
hanya sebagai penceramah (mubaligh) tak lagi memadai. Dalam tulisan ini,
akan diperkenalkan konsep (baca: visi) da'i sebagai pengembang masyarakat
Islam. Jika dalam dunia pendidikan belakangan ini, kita mengenal visi guru
sebagai pembangun karakter, maka dalam ilmu dakwah, kita sudah lebih dahulu
mengenal dan mengembangkan visi da'i sebagai pembangun dan pengembang
masyarakat Islam, seperti dapa dilihat dan dibaca dalam pandangan para pemikir
dan pelaku dakwah (rijal al-fikr wa al-da'wah).
Da'i (Arab: al-da'i, al-da'iyyah, dan
al'du'ah) menunjuk pada pelaku (subjek) dan penggerak (aktivis) kegiatan
dakwah, yaitu orang yang berusaha untuk mewujudkan Islam dalam semua segi
kehidupan baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, ummat, dan bangsa.
Sebagai pelaku dan penggerak dakwah, da'i, tak pelak lagi, memiliki kedudukan
penting, bahkan sangat penting karena ia dapat menjadi penentu keberhasilan dan
kesuksesan dakwah.
Da'i pada dasarnya adalah penyeru ke jalan
Allah, pengibar panji-panji Islam dan pejuang yang mengupayakan terwujudnya
sistem Islam dalam realitas kehidupan umat manusia (mujahid al-da'wah).
Oleh karena itu, da'i tak identik dengan penceramah (mubaligh). Jadi, di
sini, visi da'i tak hanya sebagai penceramah. Sayyid Quthub, menetapkan visi
da'i sebagai pengembang atau pembangun masyarakat Islam. Ini sejalan dengan
pandangannya bahwa dakwah pada hakikatnya adalah usaha orang beriman untuk
mewujudkan sistem Islam (al-manhaj al-islami) dan masyarakat Islam (al-mujtama'
al-Islami), serta pemerintahan dan negara Islam (al-daulah al-islamiyyah).
Seperti Sayyid Quthub, 'abd al-Badi Saqar, memandang
da'i sebagai arsitek sosial Islam (munhadits al-mujtama' al-Islami).
Dai, tegas Saqar, bukan aktor panggung yang hanya mengharap perhatian dan tepuk
tangan para penonton. Ia juga bukan pemain sandiwara yang tujuannya hanya
memberi hiburan kepada mereka. Sungguh keliru, demikian Saqar, bila seorang
da'i mempunyai anggapan bahwa dengan menyampaikan pidato atau ceramah, ia
menyangka sudah melaksanakan tugas dakwah, yaitu mengubah manusia dari satu
kondisi kepada kondisi yang lebih baik.
Ini berarti, Saqar memiliki pendirian yang
sama dengan Quthub, tentang visi da'i sebagai pengembang dan pembangun
masyarakat Islam. Dalam visi ini, para da'i, jauh dari sekedar penceramah,
dituntut utnuk memiliki pemahaman (knowledge) dan keterampilan (skill)
yang baik tentang rekayasa sosial Islam (Islamic social engineering)
sebagai perwujudan dari sistem Islam dalam dimensi ruang dan waktu yang menjadi
inti dari dakwah.
Sebagai pembangun dan pengembang masyarakat
Islam, dan menurut Abdullah Nasih 'Ulwan, harus memerankan sekurang-kurangnya
enam tugas atau misi, yaitu sebagai tutor (muhaddits), edukator (mudarris),
orator (khathib), mentor (muhadhir), pembuka dialog (munaqisy
wa muhawwir), budayawan (adib), dan penulis (katib)
sekaligus. Sementara al-Hulli menetapkan pula enam misi da'i sebagai pengembang
masyarakat Islam, yaitu menjadi ideologi (mu'min bi fikrah), dokter
sosial (thabib ijtima'i), pengamat dan pemerhati masalah-masalah agama
dan sosial (naqid bashir), pelindung masyarakat (akh al-faqir wa
al-ghani), pemimimpin agama dan pemimpin politik sekaligus.
Da'i bukan penceramah. Penceramah adalah
penceramah saja. Da'i adalah orang yang meyakini ideologi Islam (fikrah).
Ia mengajak kepada fikrah Islam itu dengan tulisan, ceramah (pidato),
pembicaraan biasa, dan dengan semua perbuatannya yang khusus maupun yang umum,
serta dengan segala perangkat dakwah yang mungkin dilakukan. Ia adalah seorang
penceramah, pembicara, dan tokoh panutan yang berusaha memengaruhi manusia
dengan kerja dan kepribadiannya. Ia juga seorang dokter masyarakat yang
berusaha mengobati penyakit-penyakit jiwa dan memperbaiki keadaan masyarakat
yang rusak. Ia seorang pengamat dan peneliti yang kritis yang menjadikan
hidupnya untuk melakukan perbaikan kepada kondisi yang dikehendaki Allah Swt.
Ia seorang teman, sahabat, dan saudara bagi si kaya dan si miskin, serta teman
bagi yang tua maupun yang muda. Dari sifat-sifat ini tumbuhlah rasa cinta dalam
hatinya dan dari matanya terpancar sifat kasih sayang. Dalam dirinya tidak ada
perbedaan antara kata dan perbuatannya. Ini merupakan suatu keharusan bagi
seorang da'i. Hal seperti ini merupakan pemberian (pengaruh) jiwa dan hati,
bukan pengaruh atau ciri-ciri dari sastra dan kepandaian berbicara. Da'i adalah
tokkoh masyarakat, pemimpin politik di lingkungannya, dan pemimpin bagi
gagasan-gagasannya dan orang-orang yang mengikuti jalan pikirannya. Semua
fungsi di atas, tentu tidak dapat dijalankan dengan pidato atau ceramah
semata-mata. Apabila para da'i itu diharapkan agar mereka membangun umat atau
ikut mendukung kelahirannya, atau mereka diharapkan agar mereka membangun
pemerintahan Islam (daulah) atau ikut membantu mewujudkannya, maka sama
sekali tidak dapat dengan pidato saja. Umat Islam tidak dapat dibangun dengan
hanya banyolan (lelucon dalam pidato) dan tidak dapat digerakkan hanya dengan
retorika atau gerakan-gerakan tangan (dalam pidato) yang dibuat-buat.
No comments:
Post a Comment