Wednesday, 31 October 2012

Bagaimana Seharusnya Seorang Da'i?


Pada bagian ini akan dijelaskan konsep da'i sebagai pengembang masyarakat Islam. Pembahasan ini penting, karena konsep da'i hanya sebagai penceramah (mubaligh) tak lagi memadai. Dalam tulisan ini, akan diperkenalkan konsep (baca: visi) da'i sebagai pengembang masyarakat Islam. Jika dalam dunia pendidikan belakangan ini, kita mengenal visi guru sebagai pembangun karakter, maka dalam ilmu dakwah, kita sudah lebih dahulu mengenal dan mengembangkan visi da'i sebagai pembangun dan pengembang masyarakat Islam, seperti dapa dilihat dan dibaca dalam pandangan para pemikir dan pelaku dakwah (rijal al-fikr wa al-da'wah).
Da'i (Arab: al-da'i, al-da'iyyah, dan al'du'ah) menunjuk pada pelaku (subjek) dan penggerak (aktivis) kegiatan dakwah, yaitu orang yang berusaha untuk mewujudkan Islam dalam semua segi kehidupan baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, ummat, dan bangsa. Sebagai pelaku dan penggerak dakwah, da'i, tak pelak lagi, memiliki kedudukan penting, bahkan sangat penting karena ia dapat menjadi penentu keberhasilan dan kesuksesan dakwah.

Da'i pada dasarnya adalah penyeru ke jalan Allah, pengibar panji-panji Islam dan pejuang yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam realitas kehidupan umat manusia (mujahid al-da'wah). Oleh karena itu, da'i tak identik dengan penceramah (mubaligh). Jadi, di sini, visi da'i tak hanya sebagai penceramah. Sayyid Quthub, menetapkan visi da'i sebagai pengembang atau pembangun masyarakat Islam. Ini sejalan dengan pandangannya bahwa dakwah pada hakikatnya adalah usaha orang beriman untuk mewujudkan sistem Islam (al-manhaj al-islami) dan masyarakat Islam (al-mujtama' al-Islami), serta pemerintahan dan negara Islam (al-daulah al-islamiyyah).
Seperti Sayyid Quthub, 'abd al-Badi Saqar, memandang da'i sebagai arsitek sosial Islam (munhadits al-mujtama' al-Islami). Dai, tegas Saqar, bukan aktor panggung yang hanya mengharap perhatian dan tepuk tangan para penonton. Ia juga bukan pemain sandiwara yang tujuannya hanya memberi hiburan kepada mereka. Sungguh keliru, demikian Saqar, bila seorang da'i mempunyai anggapan bahwa dengan menyampaikan pidato atau ceramah, ia menyangka sudah melaksanakan tugas dakwah, yaitu mengubah manusia dari satu kondisi kepada kondisi yang lebih baik.
Ini berarti, Saqar memiliki pendirian yang sama dengan Quthub, tentang visi da'i sebagai pengembang dan pembangun masyarakat Islam. Dalam visi ini, para da'i, jauh dari sekedar penceramah, dituntut utnuk memiliki pemahaman (knowledge) dan keterampilan (skill) yang baik tentang rekayasa sosial Islam (Islamic social engineering) sebagai perwujudan dari sistem Islam dalam dimensi ruang dan waktu yang menjadi inti dari dakwah.
Sebagai pembangun dan pengembang masyarakat Islam, dan menurut Abdullah Nasih 'Ulwan, harus memerankan sekurang-kurangnya enam tugas atau misi, yaitu sebagai tutor (muhaddits), edukator (mudarris), orator (khathib), mentor (muhadhir), pembuka dialog (munaqisy wa muhawwir), budayawan (adib), dan penulis (katib) sekaligus. Sementara al-Hulli menetapkan pula enam misi da'i sebagai pengembang masyarakat Islam, yaitu menjadi ideologi (mu'min bi fikrah), dokter sosial (thabib ijtima'i), pengamat dan pemerhati masalah-masalah agama dan sosial (naqid bashir), pelindung masyarakat (akh al-faqir wa al-ghani), pemimimpin agama dan pemimpin politik sekaligus.
Da'i bukan penceramah. Penceramah adalah penceramah saja. Da'i adalah orang yang meyakini ideologi Islam (fikrah). Ia mengajak kepada fikrah Islam itu dengan tulisan, ceramah (pidato), pembicaraan biasa, dan dengan semua perbuatannya yang khusus maupun yang umum, serta dengan segala perangkat dakwah yang mungkin dilakukan. Ia adalah seorang penceramah, pembicara, dan tokoh panutan yang berusaha memengaruhi manusia dengan kerja dan kepribadiannya. Ia juga seorang dokter masyarakat yang berusaha mengobati penyakit-penyakit jiwa dan memperbaiki keadaan masyarakat yang rusak. Ia seorang pengamat dan peneliti yang kritis yang menjadikan hidupnya untuk melakukan perbaikan kepada kondisi yang dikehendaki Allah Swt. Ia seorang teman, sahabat, dan saudara bagi si kaya dan si miskin, serta teman bagi yang tua maupun yang muda. Dari sifat-sifat ini tumbuhlah rasa cinta dalam hatinya dan dari matanya terpancar sifat kasih sayang. Dalam dirinya tidak ada perbedaan antara kata dan perbuatannya. Ini merupakan suatu keharusan bagi seorang da'i. Hal seperti ini merupakan pemberian (pengaruh) jiwa dan hati, bukan pengaruh atau ciri-ciri dari sastra dan kepandaian berbicara. Da'i adalah tokkoh masyarakat, pemimpin politik di lingkungannya, dan pemimpin bagi gagasan-gagasannya dan orang-orang yang mengikuti jalan pikirannya. Semua fungsi di atas, tentu tidak dapat dijalankan dengan pidato atau ceramah semata-mata. Apabila para da'i itu diharapkan agar mereka membangun umat atau ikut mendukung kelahirannya, atau mereka diharapkan agar mereka membangun pemerintahan Islam (daulah) atau ikut membantu mewujudkannya, maka sama sekali tidak dapat dengan pidato saja. Umat Islam tidak dapat dibangun dengan hanya banyolan (lelucon dalam pidato) dan tidak dapat digerakkan hanya dengan retorika atau gerakan-gerakan tangan (dalam pidato) yang dibuat-buat.

(Dikutip dari buku “Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam” karya Dr. A. Ilyas Ismail, M.A. Dan Prio Hotman, M.A.)   

No comments:

Post a Comment