Wednesday 31 October 2012

Retorika Abad Pertengahan


BAB I
PENDAHULUAN

Kemampuan berbicara merupakan salah satu hal penting yang harus kita kuasai, terutama bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, apalagi dosen. Berbicara adalah cara paling efektif untuk mengungkapkan isi hati. Apa yang dibicarakan seseorang mencerminkan kualitas diri orang tersebut. Berbicara telah membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain. Binatang misalnya, tidak memiliki kemampuan berbicara.
Hitler, dalam bukunya Mein Kampf, yang dikutip Jalaluddin Rakhmat, mengungkapkan bahwa keberhasilannya menjadi Kaisar Jerman dari awalnya hanya seorang kopral kecil disebabkan oleh kemampuannya berbicara. Hitler berkata: jede grosse Bewegung auf dieser Erde verdankt ihr Wachsen den grosseren Rednern und nicht den grossen Schreibern (setiap gerakan besar di dunia ini dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan bukan jago-jago tulisan).
Kecakapan atau kemahiran dalam berbicara dipelajari dalam ilmu retorika. Retorika banyak dipakai orang untuk merancang dan menata kata-kata agar dapat menampilkan tutur kata yang indah dan mampu meyakinkan setiap lawan bicaranya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (membicarakannya sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, mengembirakan, dan menggerakkan, yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Al-Qur’an, 4:63). Muhammad Saw bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih, dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah), salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdued by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa abad pertengahan , dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi balaghah pda retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
B.     RETORIKA MODERN
Abad pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani dalam perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Invention dan disposito dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocution dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologis membahas “teori pengetahuan”, asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab musabab perilaku manusia pada imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai focus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Naik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis, aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles letters (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apapun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles letters) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato, pada penyusunan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga disebut gerakan elokusionis, justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, “Pembicaraan tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkram perhatian mereka”. James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian dan kesetiaan yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artificial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan resep-resep penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern, khsususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun  mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking.



BAB III
KESIMPULAN
            Ketika memasuki abad pertengahan, retorika sempat tersingkir ke belakang pada saat demokrasi Romawi mengalami kemunduran. Di Eropa, masa ini sering disebut dengan zaman kegelapan, termasuk ilmu retorika. Sampai akhirnya satu abad kemudian, di timur muncul seorang Nabi membawa peradaban baru dengan menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka”. Dialah Muhammad Saw. Beliau sendiri adalah seorang pembicara yang fasih.
            Pertemuan orang Eropa dengan Islam yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani dalam perang Salib menimbulkan Renaissance. Renaissance membawa kita pada retorika modern. Salah satu tokohnya adalah Roger Bacon. Di era modern ini, ada beberapa aliran retorika.
Aliran pertama adalah epistemologis, yang membahas asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Yang kedua adalah aliran retorika gerakan belles letters (tulisan yang indah). Aliran ini mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang mengabaikan segi informatifnya. Aliran ketiga disebut gerakan elokusionis, yang menekankan teknik penyampaian pidato.

Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Retorika Dakwah: Pendekatan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Effendi, Onong Uchjana. 2007. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

No comments:

Post a Comment