BAB I
PENDAHULUAN
Islam
bukan hanya sekedar agama seperti halnya agama-agama lain di dunia. Islam hadir
sebagai rahmat untuk semesta alam. Islam datang membawa sistem. Jika digali
lebih dalam, Islam memiliki sistem sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Sayangnya, menurut An-Nabhani, umat Islam hanya mewarisi agamanya sebagai
ritual dan simbol-simbol keagamaan.
Sementara
pada saat yang sama – lanjut An-Nabhani – generasi ini telah terpesona dengan
pemikiran kapitalis, karena melihat keberhasilannya, bukan karena memahami betul
realitas pemikirannya. Juga karena generasi ini telah tunduk pada sistem dan
hukum kapitalis, bukan karena menyadari bahwa peraturan-peraturan itu
sebenarnya muncul dari pandangan hidup kapitalis.
Umat
Islam terlanjur menikmati sistem yang sudah ada sekarang (kapitalis dan
sosialis). Padahal, keruntuhan sistem-sistem tersebut tinggal menunggu waktu.
Lihat saja apa yang terjadi dengan Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya.
Tidak lain karena sistem liberal yang mereka anut.
Umat
Islam malah jauh dari pemikiran-pemikiran Islam dilihat dari segi praktiknya,
sekalipun beragama Islam dan mengkaji pemikirannya. Mereka malah merasa rendah
diri menawarkan konsep ekonomi Islam untuk melahirkan solusi bagi problem
kehidupan yang silih berganti.
Sering
kali kita hanya berkutat di masalah fiqih ibadah (ritual), namun jarang
mengkaji fiqih muamalah (termasuk ekonomi di dalamnya). Padahal, ayat
terpanjang yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah ayat muamalah (Al-Baqoroh:
282).
Untuk
itu, perlu adanya generasi yang mengkaji
sistem ekonomi Islam secara mendalam dan menyeluruh, dan menawarkannya sebagai
sistem ekonomi alternatif, walaupun akan mendapat perlawanan sengit dari
penganut sosialis dan kapitalis.
Konsep
distribusi ekonomi yang selama ini terjadi di masyarakat saat ini menimbulkan
kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Distribusi pendapatan misalnya, hanya
berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Contoh yang paling tepat adalah
konsep kapitalis, karena konsep inilah yang sekarang banyak dianut negara-negara
di dunia. Sistem kapitalis mendorong penganutnya supaya mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan cara apapun, sehingga mengabaikan sesamanya.
Islam
mempunyai konsep yang baik dalam hal pendistribusian harta ini. Banyak cara
mendistribusikan harta, misalnya dari orang-orang kaya dapat menyalurkan
hartanya dengan cara berzakat, infak, sedekah, dan wakaf. Jika digunakan dalam
sistem yang produktif, konsep-konsep ini bisa membuat masyarakat lebih
sejahtera, karena harta tidak berputar di kalangan orang kaya saja.
”...supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja
di antara kamu...” (Al-Hasyr: 7)
Uraian
di bab 2 menjelaskan mengenai beberapa konsep distribusi pendapatan dan
kekayaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Distribusi
Pendapatan
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan
distribusi adalah kepemilikan pribadi (private). Oleh karena itu permasalahan
yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada kepemilikan, pendapatan dan
harta pusaka peninggalan leluhur masing-masing. Milton H. Spencer (1977),
menulis dalam bukunya Contemporary Economics: “Kapitalisme merupakan sebuah sistem
organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas
alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta
api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untu mencapai laba dalam
kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.” (Winardi
: 1986)
Lembaga hak milik swasta merupakan elemen
paling pokok dari kapitalisme. Para individu memperoleh perangsang agar aktiva
mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin. Hal tersebut agar mempengaruhi
distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan
untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak
apabila mereka meninggal dunia.
Sedang sosialis lebih melihat kepada kerja
sebagai basis dari distribusi pendapatan. Setiap kepemilikan hanya bisa dilahirkan
dari buah kerja seseorang. Oleh sebab itu, adanya perbedaan dalam kepemilikan
tidak disebabkan oleh kepemilikan pribadi tapi lebih kepada adanya perbedaan
pada kapabitalis dan bakat setiap orang. Brinton (1981) menyebutkan bahwa “sosialisme
dapat diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang
bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan
menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis seperti pertambangan,
jalan-jalan dan jembatan, kereta api, serta cabang-cabang produk lain yang
menyangkut hajat hidup orang banyak”.
Komunis
sebagai bentuk dari sosialisme yang paling ekstrem lebih menekankan bahwa
kebutuhan adalah dasar dari sistem distribusi, dimana pendistribusian menjadi
penting untuk diarahkan kepada penyediaan segala hal yang dapat memberi
kepuasan pada hajat dasar hidup penganutnya. Sistem ini menyakini bahwa, dengan
cara tersebut, fenomena perbedaan dalam pendapatan ataupun kelas sosial dapat
dieleminasi dan bahkan dihapus.
Ini artinya yang menjadi fokus dari sistem
distribusi pendapatan Islam adalah proses distribusinya dan bukan output dari
proses distribusi tersebut. Dengan demikian jika pasar mengalami kegagalan (failure)
ataupun not fair untuk berlaku sebagai instrumen distribusi
pendapatan, maka frame
fastabiqul khairaat akan
mengarahkan semua pelaku pasar berikut perangkat kebijakan pemerintahnya kepada
proses redistribusi pendapatan.
Proses redistribusi pendapatan dalam Islam mengamini
banyak hal yang berkaitan dengan moral endogeneity,
signifikansi dan batasan-batasan tertentu, diantaranya:
a.
Sebagaimana utilitiarianisme, mempromosikan ‘greatest
good for greatest number of people’, dengan ‘good’ dan ‘utility’
diharmonisasikan dengan pengertian halal-haram, peruntungan manusia dan
peningkatan utility manusia adalah tujuan utama dari
tujuan pembangunan ekonomi.
b.
Sebagaimana liberitarian dan Marxism,
pertobatan dan penebusan dosa adalah salah satu hal yang mendasari
diterapkannya proses redistribusi pendapatan.
c.
Sistem redistribusi diarahkan untuk berlaku
sebagai faktor pengurang dari adanya pihak yang merasa dalam keadaan merugi
ataupun gagal.
d.
Mekanisme redistribusi berlaku secara istimewa,
karena walaupun pada realitasnya distribusi adalah proses transfer kekayaan
searah, namun pada hakikatnya tidak demikian.
Sedangkan standar atau indikator kebutuhan dan
batasan yang mendasari sistem distribusi pendapatan Islam adalah maqasid
syariah (kebutuhan dan batasan dalam mengakomodir kebutuhan paling dasar bagi
setiap muslim, yaitu : aspek agama, diri, akal, keturunan, dan harta). Para
ekonom meyakini bahwa antara pertumbuhan, efisiensi, equity dan
ketidakseimbangan pendapatan ada hubungan berkesinambungan. Untuk itu kajian
distribusi diarahkan kepada paling tidak empat hal, antara lain :
1.
Sumber daya manusia/alam
2.
Pasar terbuka, terutama berkaitannya dengan
struktur produksi, dinamika tenaga kerja dan relativitas upah buruh
3.
Model ekonomi politik (siyasah al
iqtishodiyah) yang menegaskan eksistensi konflik-konflik sosial politik
dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah yang berdampak secara
langsung dan tidak langsung kepada distribusi pendapatan
4.
Model restriksi khususnya untuk masalah kredit
dengan basis hipotesis kepada ketidaksempurnaan pasar dan teori-teori yang
berkaitan dangan moral hazard dan adverse selection.
Berbeda dengan ajaran ekonomi manapun, ajaran Islam
dalam mendistribusikan pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang
ketat. Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan
sejumlah persyaratan (karakteristik khusus) pada aset wajib zakat. Untuk lebih
jelasnya, skala prioritas dan karakteristik aset adalah sebagai berikut :
Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama
yang harus didistribusikan dari sejumlah aset, adalah :
a.
Jika masih surplus, dahulukan membayar utang
b.
Karena Nabi menyatakan ‘menunda membayar hutang
adalah zalim’. Disinilah letak keindahan Islam, yang menentukan bahwa: Islam melarang
meminta tingkat pengembalian tertentu dari uang yang dipiutangkan kepada orang
lain.
Kemudian dari sisa aset yang ada, yang harus
diprioritaskan adalah distribusi melalui zakat. Namun harus dilihat
terlebih dahulu karakter dari sisa aset tersebut, yaitu:
a.
Apakah sisa aset itu di atas nisab
b.
Kepemilikan sempurna
c.
Sudah genap satu tahun kepemilikan dan potensi
produktif
Bila diperhatikan secara seksama, setiap
instrumen yang ditawarkan Islam dalam memecahkan permasalahan ketidaksetaraan
pendapat antarrumah tangga, pada dasarnya dapat disesuaikan dengan daur hidup
pencarian kekayaan manusia secara umum, yaitu :
1.
Accumulation Phase (Fase
Akumulasi), yakni tahap awal sampai pertengahan karier. Fase ini individu
mencoba meingkatkan asetnya (kekayaan) untuk dapat memenuhi kebutuhan jangka
pendek. Dan fase ini yang terjadi adalah distribusi pendapatan antaranggota
keluarga (nafaqah)
2.
Consolidation Phase (Fase
Konsolidasi) : individu yang berada dalam fase ini biasanya telah melalui
pertengahan perjalanan kariernya. Biasanya pendapatan melebihi pengeluaran.
Untuk itu, pada setiap kelebihan asetnya, individu dapat melaksanakan kewajiban
zakat dan instrumen-instrumen lainnya yang lebih terkait kepada perayaan rasa
syukur, seperti: udhiyah, akikah, dan infak.
3.
Spending Phase/Gifting Phase: fase
ini secara umum dimulai pada saat individu memasuki masa pensiun. Pada fase
ini, kewajiban untuk memberi nafkah keluarga akan berkurang, seiring akan
semakin dewasanya anak yang menjadi tanggungan.
Untuk itu, jika individu pada fase ini masih
mempunyai produktivitas tinggi (kelebihan materi), maka kesempatan terbuka bagi
individu tersebut untuk memberikan sebagian hartanya melalui instrumen yang
mengarahkan kepada kepentingan dan fasilitas umum (sosial). Seperti memberi
wakaf dan menuliskan wasiat.
Dengan demikian, sudah seharusnya seorang
muslim giat bertransaksi, berproduksi. Dan berinvestasi menciptakan pasar
berbasis halal-haram dan bersaing di pasar tersebut sepanjang tahun, dengan
tentunya secara sunnatullah mereka yang berpengalaman, berpendidikan, bermodal
akan sangat besar kemugkinannya menjadi pemenang (peningkatan pendapatan).
Sewa
Tidak ada bukti bahwa konsep sewa dalam arti
istilah modern telah dikembangkan selama masa hayat Nabi Muhammad Saw.
Barangkali di masa itu tidak terdapat kekurangan tanah. Tetapi kebutuhan akan
sistem tanah yang berlangsung lama dan permanen telah dirasakan selama Khalifah
‘Umar, sebagai akibat penaklukan Irak, Suriah, Iran dan Mesir. Konsep sewa
dalam bentuknya yang sederhana telah berkembang tidak hanya karna langkah
revolusioner ‘Umar dengan larangan pembelian tanah oleh kaum muslimin di
wilayah yang ditaklukkan, tetapi juga karena dihentikannya praktek
mendistribusikan tanah taklukan di kalangan kaum muslimin. Dengan demikian
‘Umar mengizinkan para penggarap tanah asli untuk membudidayakan tanah mereka
berdasarkan pembayaran Kharaj dan Jizyah.
Tetapi persoalan pokok yang mengganggu pikiran
banyak sarjana muslim dan bukan muslim, bukanlah mengenai apakah konsep sewa berkembang
selama Khalifah ‘Umar atau pada suatu
periode berikutnya dalam sejarah Islam, tetapi apakah tingkat sewa tetap yang
kelihatannya serupa dengan tingkat bunga masih diperbolehkan dalam Islam.
Sebelum menjawab pertanyaan ini akan dibicarakan dengan singkat tentang konsep
modern sewa ekonomik. Menurut Ricardo,
sewa adalah bagian hasil tanah yang dibayarkan kepada tuan tanah untuk
penggunaan kekayaan tanah asli dan tak
dapat rusak. Menurut dia sewa adalah surplus diferensial. Ia merupakan selisih
hasil tanah mutu unggul dan hasil tanah mutu rendah. Mungkin juga timbulnya
sewa karena kesulitan tanah sehubungan dengan permintaan. Professor Marshall
dengan tepat mengatakan bahwa perbedaan antara sewa diferensial dengan sewa
kelangkaan hanyalah soal perbedaan pendekatan saja. Sewa yang diperoleh
sebidang tanah dapat dianggap sebagai sewa diferensial, jika kita bandingkan
hasilnya dengan hasil sebidang tanah mutu rendah atau marjinal saat kedua
bidang tanah itu diolah dengan alat-alat sejenis. Sebaliknya sama, sewa yang
diperoleh bidang tanah yang sama dapat dipandang sebagai sewa kelangkaan, suatu
bentuk sewa yang timbul karena kekurangan penyediaan menyeluruh dibandingkan
dengan permintaan terhadap jenis tanah ini. Tanah mutu unggul memperoleh
kelangkaan yang tinggi karena terbatasnya penyediaan menyeluruh tanah itu
dibandingkan dengan permintaan menyeluruh untuk itu. Kemungkinan lain, tanah
mutu unggul memperoleh sewa diferensial yang tinggi karena perbedaan besar
antara hasilnya disbanding dengan hasil tanah mutu rendah. Sesungguhnya,
hakikat pengertian sewa adalah pengertian tentang satu surplus yang diperoleh
suatu kesatuan khusus faktor produksi yang melebihi penghasilan minimum yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya. Secara historik dan harfiah,
pengertian ini sangat dekat dengan
gagasan pemberian alam bebas yang oleh para ahli ekonomi disebut dengan istilah
tanah. Karena adanya tanah tidak disebabkan oleh manusia maka dalam pengertian
para ahli ekonomi, seluruh penghasilan tanah dapat disebut sebagai sewa. Karena
pemberian alam secara cuma-cuma, maka tidak diperlukan pembayaran untuk
mengerjakannya.
Tetapi tidak ada alasan untuk menganggap bahwa
sewa dipautkan dengan tanah saja. Satuan khusus faktor produksi lainnya
(seperti buruh modal, dan kewirausahaan) dapat juga memperoleh sewa, bila saja
balas jasa mereka ternyata melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk
mempertahankan faktor itu pada kedudukannya yang sekarang.
Upah
Upah mengacu pada penghasilan tenaga kerja.
Upah dapat kita pandang dari dua segi, yaitu moneter dan bukan moneter. Jumlah
uang yang diperoleh seorang pekerja selama suatu jangka waktu, katakanlah,
sebulan, seminggu, atau sehari, mengacu pada upah nominal tenaga kerja. Upah
sesungguhnya dari seorang buruh tergantung pada berbagai faktor seperti jumlah
upah berupa uang, daya beli uang, dan seterusnya, yang boleh dikatakan terdiri
dari jumlah kebutuhan hidup yang sebenarnya diterima oleh seorang pekerja
karena kerjanya: “pekerja kaya atau miskin, diberi imbalan baik atau buruk,
sebanding dengan harga nyata, bukan harga nominal atas jerih payahnya.”
(Adam Smith).
Teori upah yang pada umumnya diterima adalah
teori Produk Marjinal. Menurut teori ini upah ditentukan oleh keseimbangan
antara kekuatan permintaan dan persediaan. Dengan mengasumsikan penyediaan
tenaga kerja dalam suatu jangka waktu yang panjang dan konstan, maka permintaan
akan buruh dalam suatu kerangka masyarakat kapitalis, datang dari majikan yang
mempekerjakan buruh dan faktor produksi lainnya untuk membuat keuntungan dari
kegiatan usahanya. Selama hasil bersih tenaga kerja lebih besar dari tarif upah
itu, majikan akan terus mempekerjakan semakin banyak satuan tenaga kerja. Tentu
saja ia akan berhenti mempekerjakan tenaga kerja tambahan pada batas dimana
biaya mempekerjakan buruh justru sama dengan (sesungguhnya kurang sedikit
dibandingkan dengan) tambahan yang dilakukannya pada nilai jumlah hasil bersih.
“masing-masing majikan, seperti halnya masing-masing konsumen, memberi upah
buruh yang akan bernilai sama dengan hasil kerja marjinal dengan tarif upah
yang berlaku. Hal itu merupakan permintaan semua majikan yang terjadi dalam
keseluruhan hubungan persediaan tertentu yang menentukan produk marjinal tenaga
kerja secara keseluruhan dan tarif upah dipasaran.”
Sekalipun Teori Produk Marjinal mengenai upah,
yang telah banyak mendapat kecaman, dianggap benar, namun hal ini akan tetap absah
hanya dalam kondisi persaingan yang benar. Tetapi dalam dunia yang
sesungguhnya, persaingan tidak murni. Mungkin saja terdapat kurang persaingan
dikalangan para majikan. Sebagaimana diketahui diantara semua komoditi, tenaga
kerjalah yang paling tidak tahan lama. Sebaliknya majikan sendiri berada dalam
posisi yang menguntungkan. Profesor Marshall berkata, “ingatlah bahwa seorang
yang mempekerjakan seribu orang lain, seolah-olah merupakan suatu gambaran yang
tetap dari seribu unit dikalangan pembeli di pasaran tenaga kerja.” Disebabkan
oleh kelemahan mereka dalam perundingan, maka para tenaga kerja dibawah
kapitalisme mungkin mendapat upah yang jauh lebih rendah dari produk marjinal
mereka.
Pengisapan terhadap buruh oleh para majikan
dilarang oleh Islam. Dalam hal ini adalah membesarkan hati untuk mengutip
pernyataan Nabi Besar SAW, “Manusia tidak berhak atas bagian yang tidak
diberikan Tuhan kepadanya. Tuhan memberikan kepada seriap orang haknya, oleh
karena itu jangan mengganggu apa yang dimiliki orang lain.” Nabi SAW juga
mengatakan: “upah seorang buruh harus dibayarkan kepadanya sebelum keringat
dibadannya kering.” Selanjutnya diriwayatkan dari Ibnu Majah bahwa Nabi SAW
berkata: “kewajiban para majikan hanya menerima pekerjaan yang mudah dilakukan
oleh para karyawannya. Janganlah mempekerjakan mereka sedemikian rupa sehingga
berakibat buruk bagi kesehatannya.” Pada kenyataannya, dalam pola suatu
masyarakat Islam, upah yang layak bukanlah suatu konsesi, tetapi suatu hak
asasi, yang dapat dipaksakan oleh seluruh kekuasaan negara. Bila reorientasi
sikap negara telah dilaksanakan, maka penetapan upah dan perumusan
produktivitas sesungguhnya hanya merupakan soal penyesuaian yang tepat. Di
semua negara Islam di dunia, sangat diperlukan ditegaskannya kembali cita-cita
dinamik yang mengatur undang-undang perburuhan, dan menerima prinsip hak-hak
buruh yang diakui seluruh dunia seperti, hak untuk: mogok, mendapatkan upah
yang layak, jaminan sosial, laba, dan lain-lainnya. Diterimanya hak-hak ini
tidak berarti bahwa para pekerja akan mempunyai kebebasan tidak terbatas untuk
melakukan apa saja. Islam mengutuk penyelewengan atau kecurangan dalam menggelapkan
apapun milik majikan. Nabi SAW diriwayatkan berkata: “penghasilan terbaik ialah
penghasilan seorang pekerja, dengan syarat ia melakukan peerjaannya dengan
hati-hati dan ia hormat kepada majikannya.” Negara Islam memiliki wewenang
untuk mengekang kegiatan anti sosial pekerja dalam bentuk apapun.
Sesungguhnya Islam menghendaki pertumbuhan
masyarakat yang berimbang. Untuk ini kompromi antar buruh dan majikan dianggap
sebagai syarat yang hakiki. Jika para pekerja dan majikan diresapi oleh
nilai-nilai Islam, larangan terhadap pemogokan dan ditutupnya tempat-tempat
kerja menjadi tidak perlu, dan relatif tidak penting. Sekarang ini, persoalan
pokok yang dihadapi negara-negara Islam bukanlah bagaimana melarang atau
membatasi pemogokan melainkan bagaimana menanamkan nilai-nilai kehidupan Islam
dalam hubungan antara buruh dan majikan.
Dampak
Distribusi Pendapatan dalam Islam
Distribusi
pendapatan merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan. Dampak
dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek
sosial dan politik. Oleh karena itu Islam memberi perhatian lebih terhadap
disribusi pendapatan masyarakat. Maka Islam memperhatikan berbagai sisi dari
perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Misalnya dalam jual-beli, hutang
piutang, dan sebagainya. Dampak yang ditimbulkan dari distribusi pendapatan yang
didasarkan atas konsep islam.
Dalam
konsep Islam perilaku distribusi pendapatan masyarakat merupakan bagian dari
bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah.Seorang
muslim akan menghindari praktek distribusi yang menanggung barang-barang yang
merusak masyarakat. Misalnya, minuman keras, obat terlarang.
Negara
bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan
kepentingan umum daripada kepentingan kelompok. Negara mempunyai tanggung jawab
untuk menyediakan fasilitas publik yang berhubungan dengan masalah optimalisasi
distribusi pendapatan, seperti sekolah, rumah sakit.
B.
Distribusi Kekayaan
Distribusi
kekayaan adalah pembagian kekayaan (keuntungan negara) atas faktor-faktor
produksi. Distribusi kekayaan dalam masa sekarang ini merupakan suatu
permasalahan yang sangat penting dan rumit dilihat dari keadilannya dan
pemecahannya yang tepat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh masyarakat.
Tidak diragukan lagi bahwa pendapatan sangat penting dan perlu, tapi yang lebih
penting lagi adalah cara distribusi. Jika apra penghasil itu rajin dan mau
bekerja keras, mereka akan dapat meningkatkan kekayaan negara. Akan tetapi,
jika distribusi kekayaan itu tidak tepat, maka sebagian besar kekayaan ini akan
masuk ke dalam kantong para kapitalis, sehingga akibatnya banyak masyarakat
yang menderita kemiskinan dan kelebihan kekayaan negara tidak mereka nikmati.
Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak
sepenuhnya tergantung pada hasil produksi itu sendiri, tapi juga pada
distribusi pendapatan yang tepat. Kekayaan mungkin bisa dihasilkan secara
berlebihan di setiap negara, tapi distribusi tidak berdasarkan pada
prinsip-prinsip dan kebenaran keadilan, sehingga negara tersebut belum dapat
dikatakan berhasil.
Bahkan
dalam masyarakat modern yang makmur di mana terdapat kekayaan yang melimpah,
pembagian kekayaan itu sendiri belum merata sehingga masih banyak warga negara
yang menderita kemiskinan. Semua itu disebabkan karena distribusi kekayaan yang
tidak tepat, yaitu ada sekelompok masyarakat yang kehilangan hak bagiannya. Hal
itu bisa menimbulkan kesedihan dan juga kemarahan.
Prinsip-prinsip
Distribusi Kekayaan
Masalah
distribusi kekayaan yang sulit dan rumit sekaligus penting itu telah mendapat
perhatian khusus. Banyak pakar ekonomi filsafat dan politik telah beberapa kali
membahas masalah itu, dalam berbagai kesempatan dan mencoba untuk
menyelesaikannya, meskipun mereka telah mencoba usaha yang terbaik tetapi
akhirnya mereka tetap gagal menemukan penyelesaian yang tepat. Di kalangan
mereka sering terjadi perbedaan pendapat sehingga tidak satu pun jawaban yang
mampu memecahkan persoalan tersebut. Akibatnya masalah tersebut tetap tinggal
sebagai suatu tantangan bagi para pemikir sampai saat ini.
Sekelompok
pemikir berpandangan bahwa seseorang individu seharusnya memiliki kebebasan
sepenuhnya supaya bisa menghasilkan sejumlah kekayaan yang maksimum dengan
menggunakan kemampuan yang dia miliki. Juga mengingatkan agar tidak membatasi
hak individu atas hartanya dengan memberikan pembagian harta yang tidak adil.
Sementara pemikir lain berpendapat bahwa kebebasan secara individual tetap akan
berbahaya bagi kemaslahatan masyarakat. Oleh karena itu, hak individu atas
harta yang dimilikinya sebaiknya dihapuskan dan semua wewenang dipercayakan
kepada masyarakat agar dapat mempertahankan persamaan ekonomi di dalam
masyarakat.
Bertolak
dari kedua pendapat, berdirilah ekonomi Islam yang mengambil jalan tengah,
yaitu membantu dalam menegakkan suatu sistem yang adil dan merata. Sistem ini
tidak memberikan kebebasan dan hak atas milik pribadi secara individual dalam
bidang produksi, tidak pula mengikat mereka dengan satu sistem pemerataan
ekonomi yang seolah-olah tidak boleh memiliki kekayaan secara bebas. Prinsip
utama dari sistem ini adalah peningkatan dan pembagian hasil kekayaan agar
sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, yang mengarah pada pembagian kekayaan
yang merata di berbagai kalangan masyarakat yang berbeda dan tidak hanya
berfokus pada beberapa golongan tertentu.
Al-Qur’an
telah menjelaskan prinsip Islam dalam surat Al-Hasyr ayat 7:
“Apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu...”
Ayat
ini mengungkapkan prinsip pengaturan distribusi kekayaan dalam sistem kehidupan
Islam; kekayaan harus dibagi kepada semua golongan masyarakat dan seharusnya
tidak menjadi komoditi di antara golongan kaya saja.
Al-Qur’an telah
menetapkan langkah-langkah tertentu untuk mencapai pemerataan pembagian
kekayaan dalam masyarakat secara objektif. Al-Qur’an juga melarang adanya bunga
dalam bentuk apapun, di samping memperkenalkan hukum waris yang memberikan
batasan kekuasaan bagi pemilik harta untuk suatu maksud dan membagi semua
kekayaannya di antara kerabat dekat apabila meninggal. Tujuan dari hukum-hukum ini
adalah untuk mencegah pemutusan kekayaan kepada golongan-golongan tertentu.
Selanjutnya langkah-langkah positif yang diambil untuk membagi kekayaan kepada
masyarakat yaitu dengan melalui kewajiban mengeluarkan zakat, infaq dan
pemberian bantuan kepada orang-orang miskin dan yang menderita akibat pajak
negara.
Zakat
Zakat
adalah langkah yang sah digunakan negara untuk membagi-bagi harta di antara
masyarakat. Langkah ini merupakan suatu pungutan wajib yang dikumpulkan dari
orang-orang muslim yang kaya dan diserahkan kepada orang-orang miskin. Menurut
terminologi para ahli fiqih, zakat adalah sumbangan keuangan yang wajib bagi
setiap muslim yang mempunyai kekayaan di atas batas tertentu. Ini merupakan
sumbangan yang teratur yang dikumpulkan dan diedarkan melalui negara.
Sebenarnya
zakat merupakan suatu kewajiban yang diperintahkan agama atas orang-orang
berharta dalam kehidupan bermasyarakat dan dipandang sebagai urutan kedua yang
terpenting setelah ibadah harian. Al-Qur’an telah menetapkan tentang
pembayarannya. Manakala kaum muslimin diperintahkan untuk mendirikan shalat
secara teratur, mereka diperintahkan juga untuk membayar zakat. Dalam surat
yang At-Taubah ayat 8, orang-orang Islam diperintahkan mendirikan shalat dan
membayar zakat:
“Hanyalah yang
memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat dan menunaikan zakat...” (At-Taubah: 18)
Masih
banyak ayat-ayat lain yang memerintahkan orang Islam untuk mendirikan shalat
dan menunaikan zakat. Kedua kewajiban tersebut bagi orang-orang Islam yang
diungkapkan dengan kata-kata “Orang-orang yang teguh dalam sembahyang dan
menunaikan zakat” diulang-berkali-kali dalam Al-Qur’an.
Tujuan
utama zakat adalah membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang yang miskin dan
melarat sehingga tidak ada seorang pun yang menderita dalam suatu negara. Dan
zakat tersebut dikumpulkan dari orang-orang miskin, hal tersebut juga membantu
dalam penyebaran kekayaan dalam masyarakat bagi orang-orang yang berharta yang
melebihi kebutuhan bagi orang-orang yang berharta yang melebihi kebutuhan
mereka hendaklah menyumbangkannya kepada Badan Dana Zakat Nasional, semenatara
itu orang-orang yang kekurangan akan menerima bantuan dari Badan tersebut.
Wakaf
Instrumen
wakaf, sebagai salah satu sistem distribusi harta kekayaan, sampai saat ini
masih belum dikembangkan secara profesional. Artinya, wakaf belum dapat
menunjukkan kontribusinya sebagai pilar perekonomian sebagaimana zakat.
Padahal, sebagai sarana ibadah yang berdimensi sosial, wakaf mengandung
filosofi dan hikmah yang besar bagi kehidupan manusia.
Wakaf
secara bahasa berasal dari kata waqf yang berarti menahan, mengekang,
menghentikan. Pengertian wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas
suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu
kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, untuk digunakan
bagi kepentingan umum di jalan Allah SWT.Wakaf, sebagaimana telah dicontohkan
oleh Rasulullah Saw, memiliki kekhasan, yaitu harus tetap nilai pokoknya.
Sedangkan yang dapat dimanfaatkan adalah hasil dari pengelolaan
wakafnya. Ibadah wakaf didasari oleh Al Quran surat Ali Imran Ayat
92:
Artinya,
“Kalian sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Keutamaan
pahala wakaf, tidak diragukan lagi. Jaminan amalan ini sebagai amal jariyah
yang pahalanya akan tetap mengalir meski orang yang berwakaf telah meninggal
dunia, sebagaimana pahala anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya
dan ilmu yang bermanfaat.
Dalam
hal pemanfaatan hasil pengelolaan wakaf, Didin Hafidhuddin mengatakan
bahwa optimalisasi penerima wakaf bisa lebih luas dibanding zakat, karena tidak
ada kualifikasi penerima manfaat wakaf, sedangkan penerima zakat (mustahiq)
dibatasi pada 8 ashnaf penerima zakat. Artinya bahwa manfaat wakaf
dapat disalurkan/digunakan untuk berbagai keperluan, selama tidak menyimpang
dari ketentuan syar’i.
BAB III
KESIMPULAN
Beberapa
konsep distribusi pendapatan dalam Islam di antaranya adalah sewa dan upah.
Sewa menurut Ricardo adalah bagian hasil tanah yang dibayar kepada tuan tanah
untuk penggunaan kekayaan tanah asli dan tak dapat merusak. Menurut dia sewa
adalah surplus diferensial. Ia merupakan selisih dengan hasil tanahmutu unggul
dengan hasil tanah mutu rendah. Mungkin juga timbulnya sewa karena kesulitan tanah
sehubung dengan permintaan.
Sedangkan mengenai upah, Nabi bersabda: “upah
seorang buruh harus dibayar kepadanya sebelum keringat di badannya kering.”
Selanjutnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Nabi juga bersabda: “kewajiban
para majikan hanya menerima pekerjaan yang mudah dilakukan oleh para
karyawannya, janganlah mempekerjakan dia sedemikian rupa sehingga berakibat
buruk pada kesehatannya”
Contoh distribusi
kekayaan dalam makalah ini adalah zakat dan wakaf. Zakat, menurut terminologi para ahli fiqih, adalah sumbangan keuangan yang
wajib bagi setiap muslim yang mempunyai kekayaan di atas batas tertentu. Ini
merupakan sumbangan yang teratur yang dikumpulkan dan diedarkan melalui negara.
Wakaf
secara bahasa berasal dari kata waqf yang berarti menahan, mengekang,
menghentikan. Pengertian wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas
suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu
kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, untuk digunakan
bagi kepentingan umum di jalan Allah SWT.Wakaf, sebagaimana telah dicontohkan
oleh Rasulullah Saw, memiliki kekhasan, yaitu harus
tetap nilai pokoknya. Sedangkan yang dapat dimanfaatkan adalah hasil
dari pengelolaan wakafnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2. Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf
Manan, Muhammad Abdul.1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam.
Jogjakarta: Dana Bhakti Wakaf
Nasution, Mustafa Edwin. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.
Jakarta: Kencana
An-Nabhani, Taqyuddin. 2002. Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti
No comments:
Post a Comment