Friday, 28 March 2014

Dikotomi Ilmu: Sebuah Ironi


Dikotomi ilmu pengetahuan seringkali terjadi. Bukan sebuah hal yang aneh saat ini. Maka jangan heran melihat pakar sains yang pengetahuan agamanya kosong. Atau Kyai yang sama sekali buta terhadap ilmu umum.

Beberapa dosen saya bukan lulusan pesantren atau aliyah atau institusi lain yang berbau agama. Seperti biasa ketika pertama mengabsen mahasiswa, sering ditanya dari mana asal sekolahnya. Banyak yang menjawab lulusan pesantren dan aliyah. Tentu saja, karena ini kampus UIN. 

Dengan nada setengah bercanda, sang dosen bertanya "memang masih kurang ya ngambil kuliah agama lagi?" Yap, karena kami kuliah di Fakultas Dakwah, kesan Islam tentu saja menempel di badan kami.

Seharusnya tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Pada hakikatnya, semua ilmu adalah ilmu Allah. Memang kita sangat diharuskan menguasai satu cabang keilmuan. tapi tidak seharusnya juga melupakan ilmu agama, sampai buta sama sekali terhadap Islam. Bagaimana mau beribadah dengan benar jika tidak menggunakan ilmu?

Mendalami sains, harus disertai mendalami Islam. Mendalami ilmu sosial juga harus disertai pendalaman agama Islam. Belajar apapun, jangan meninggalkan Islam. Islam pernah menguasai peradaban karena ilmu pengetahuanl. Tetapi ilmuwan Muslim dahulu kala menguasai banyak cabang keilmuan. Ibnu Rusyd misalnya, selain beliau menguasai filsafat, juga menguasai ilmu kedokteran. Beliau juga ahli dalam bidang fiqh. Banyak contoh-contoh ulama lainnya.

Saat ini, sulit --kalau tidak ingin disebut tidak ada-- menemukan ilmuwan yang menguasai ilmu umum dan ilmu Islam. Kalau dia dokter, dia hanyalah menguasai ilmu kedokteran. Kalau dia ustadz, ilmunya hanya seputar keislaman saja, tidak menguasai keilmuan lain.

Mari terus belajar, belajar ilmu pengetahuan umum dan tentu saja, tetap mendalami agama Islam.

No comments:

Post a Comment