Alhamdulillah, kami telah menyelesaikan KKN di Desa Kiarasari siang tadi. Jika indikator kesuksesannya adalah ungkapan pak rektor Komarudin Hidayat, yakni "datang tak dianggap, pulang ditangisi", maka teman-teman GANESA layak sekali mendapat predikat sukses, sangat sukses.
Terimakasih kepada warga Desa Kiarasari pada umumnya, khususnya warga RW 02 Kampung Pasir Bendera, yang saya tidak dapat sebutkan satu per satu, tapi saya akan coba sebutkan beberapa orang.
Mulai dari Adi; jagoan pak lurah nomor 2 yang selalu menemani hari kami dengan kerewelannya. Dengan jurusnya "hayang ilu... (mau ikut)", membuat kita tak pernah bisa menolak jika Adi ingin ikut dengan kami kemanapun kami pergi. Aden; jagoan sulung Pak lurah, di balik diamnya, punya senjata yang bisa membuat adiknya, adi, rewel bukan kepalang. Aden adalah anak yang kooperatif, mudah diatur, apalagi diajak maen kartu UNO.
Pak Nurodin alias Jaro Peloy; Orang nomor 1 di Kiarasari, dengan penampilannya yang selalu elegan, gaya berbicaranya yang menarik membuat semua orang betah ngobrol dengan Pak Kades. Senang berbaur di kalangan paling akar rumput. Jika melihatnya berorasi di panggung, rasanya beliau layak menjadi lebih dari sekedar Kepala Desa. Beliau ada di barisan terdepan dalam membebaskan warganya dari tangan 'penjajahan' kaum pemodal yang mengganggu kedaulatan warga Kiarasari. Beliau tidak ingin rakyat menjadi tamu di rumahnya sendiri. Penggerak utama warga untuk bergotong royong membangun desa dalam membangun segala infrastruktur desa.
Bu Santi; Istri Pak Kades. Cukup cerdas dan komunikatif untuk ukuran seorang pendamping Kepala Desa. Sangat penting bagi seorang Istri Kepala Desa mengetahui database yang berkaitan dengan desanya. Bu Santi memenuhi syarat dalam hal ini. Tinggal serumah dengan beliau, teman-teman mahasiswi sangat terbantu sekali dalam urusan dapur. Punya kemampuan yang baik dalam mengolah bahan mentah menjadi sebuah hidangan untuk disantap para mahasiswa yang mudah sekali merasa lapar. Ibu yang sabar (kadang juga tidak) dalam merawat 2 amanah Tuhan; Aden dan Adi, yang tidak jarang kedua anak ini membuat Bu Kades naik darah. Cukup update di timeline BBM; menegaskan bahwa meski tinggal di daerah yang miskin sinyal internet, beliau tetap tidak ingin ketinggalan kemajuan teknologi informasi, khususnya social media.
Kang Sekdes, Ucis; mengklaim dirinya sebagai Riki Harun di Kiarasari. Sekdes yang cukup mobile, sangat membantu kami dalam hal-hal yang sifatnya administratif. Kang Ucis –seperti halnya pak Kades-- sangat jauh dari kesan kaku, kesan yang biasanya melekat pada diri seorang birokrat.
Pak Sarta; ketua RW 02, dengan gaya bicaranya yang bak diplomat, salah satu ketua RW yang cerdas versi Pak Kades, dengan sapaan khasnya pada kita: “kakak-kakak KaKaEn”. Pak RT Kuwu; yang mencampur-adukkan bahasa Indonesia baku dengan bahasa Sunda, selalu menghibur untuk disimak. Pak RT Engkos; kemeja kotak-kotaknya yang khas tentu saja sulit kami lupakan. Pak RT Mitra; 14 tahun menjadi ketua RT, sehingga sampai sekarang dikenal sebagai Pak RT, padahal sudah tidak menjabat lagi. Menjuluki kami dengan sebutan “Abang-abang yang menyumbang paralon”. Topi Joshua-nya yang nyentrik yang selalu dipakainya jika pergi ke kebun membuat Pak RT Mitra terlihat seperti masih bocah.
Pak Lulus; pemilik warung kopi, ketua panitia HUT RI, berperawakan gemuk, sorot matanya tajam seperti orang serius, nyatanya senang sekali bercanda. Di masa awal kedatangan kami, sulit sekali membuat beliau bicara. Lama-lama akhirnya beliau nyaman juga bergaul dengan kami. kami sering lupa bahwa umur beliau terpaut jauh dengan kami, karena saking akrabnya.
Pak Rahmat dan Pak Askar; arsitek pembangunan sarana air yang sangat profesional dalam melaksanakan tugasnya. Pak Rahmat memiliki kemampuan berbicara yang khas bak seorang anggota parlemen. Melihatnya berbicara seperti seseorang dengan gelar Master, tentu saja di bidang arsitektur. Pak Kapik; seorang guru yang cukup kalem. Tak banyak bicara tapi tak banyak diam juga. Beliau selalu mengutarakan bahwa beliau masih kangen pada kami, melarang kami untuk jangan dulu meninggalkan Kiarasari. So dramatic.
Pak Guru Yusup. Awalnya kami menulis namanya menggunakan huruf ‘F’. tetapi ternyata dia adalah sunda tulen. Maka jadilah namanya yang sekarang: Yusup dengan ‘P’ di huruf terakhir. Ketua Pemuda di kampung ini. Beliaulah yang membuka akses kami untuk bergabung di kepanitiaan HUT RI di Pasir Bendera, sehingga kami lebih mudah untuk berbaur di masyarakat, khususnya kalangan muda.
Emak; pemilik rumah yang ditinggali oleh mahasiswa. Seorang nenek yang masih terbilang energik di usianya. Rutin mengisi ulang air putih dan meng-update isi kaleng opak. Enak sekali. Kami –para mahasiswa-- tiba-tiba saja menjadi cengeng ketika pamit pada emak. Mendengar do’anya membuat dada kami sesak karena terharu (berlebihan? Tentu saja. Begitulah adanya).
Ustadz Dede; Seorang pimpinan pondok pesantren, masih berusia muda (mungkin sekitar 27 atau 28 tahun), dengan gaya retorika luarrr biasa ketika berceramah. Jika berbincang dengan beliau, memerlukan durasi yang panjang. Ada saja topik yang kami bahas. Jika Anies Baswedan punya jargon “lawan debat adalah teman berpikir”, maka Ustadz Dede pun punya tagline “Mahasiswa KKN adalah teman berpikir”.
Umi Iis; ibu guru di TPA, pengemban amanah dalam memenuhi ekspektasi para orang tua melihat anak-anak mereka bisa mengaji Al-Qur’an. Tentu saja Umi membawa tugas berat di pundaknya. Kebaikan akhlak dan perilaku generasi muda Kampung Pasir Bendera boleh jadi salah satunya bergantung pada bagaimana Umi Iis mendidik anak-anak di TPA. Sulit sekali sekarang ini mencari pejuang pembela agama macam Umi Iis.
Nabiela Rizki Alifa; si perempuan cerdas yang mulia yang merupakan rizki pertama (di keluarganya). Begitulah ia mengartikan namanya sendiri. Dia bukan warga desa Kiarasari. Dia seorang mahasiswi yang sedang melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Kiarasari. Salah satu hal paling penting di Kiarasari adalah bertemu dengan dia. Seorang jubir handal, komunikator yang baik, pejalan kaki ulung, texting person yang menyenangkan, perempuan yang sering mengaku biasa saja dari segi fisik padahal cantik atau tidak cantik itu relatif (camera360 itu alternatif), beserta kelebihan dan kekurangannya yang lain. Mudah-mudahan ‘pertemanan’ kita langgeng.
Apih Acang; ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) beserta Umi-nya, rutin meminjamkan proyektor (satu-satunya pemilik proyektor di Kiarasari). Beliau menyebut proyektor kepunyannya dengan sebutan “himpokus”.
Para ketua RW setiap Kampung, Kader-kader PKK, anak-anak dan Pemuda Kampung Pasir bendera. Para dewan guru dan murid di MI dan MTs Al-Amanah. Terlalu panjang lebar jika saya identifikasi dan mendeskripsikan pribadi mereka satu per satu.
Terimakasih semuanya.
5 September 2014.
No comments:
Post a Comment