Sebenarnya ini adalah esai untuk lomba "opini kemanusiaan" yang diadakan Dompet Dhuafa beberapa bulan yang lalu. Walaupun sudah lama dilombakan (sekitar juni atau juli, saya lupa), tapi sampai bulan November ini belum juga ada pengumuman. Mungkin panitianya sibuk menghadapi persiapan ramadhan pada saat itu.
daripada naskah ini menganggur, lebih baik saya posting disini, sekedar untuk berbagi. Mudah-mudahan bermanfaat.
Jadi begini...
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memegang peranan
penting dalam memberdayakan kaum dhuafa (ada juga istilah mustadh’afin:
yang dilemahkan). Peringatan Al-Qur’an dalam surat Al-Ma’un cukup menjadi bukti
betapa Islam memberikan perhatian besar untuk kaum dhuafa.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Q.S. Al-Ma’un: 1-3)
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
menyatakan paling tidak ada dua hal yang patut disimak dalam ayat ke-3 surat
ini. Pertama, ayat tersebut tidak berbicara tentang kewajiban ”memberi makan”
orang miskin, tapi berbicara ”menganjurkan memberi makan”. Itu berarti mereka
yang tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk berperan sebagai
”penganjur pemberi makanan terhadap orang miskin” atau dengan kata lain, kalau
tidak mampu secara langsung, minimal kita menganjurkan orang-orang yang mampu
untuk memperhatikan nasib mereka.
“Memberi makan”
pada ayat di atas jika diterjemahkan secara langsung, bermakna memberi bantuan dalam
bentuk makanan. Jika ditafsirkan dalam konteks kekinian, “memberi makan” bisa
berarti memberikan pekerjaan, memberdayakan, berusaha mendorong dan memberikan
fasilitas untuk kaum dhuafa dalam berikhtiar menjemput rizki. Memberi kail,
bukan ikan.
Kesadaran dari orang-orang kaya tentu sangat penting
dalam proses pemberdayaan kaum dhuafa. Karena merekalah yang bisa
mendistribusikan kekayaannya. Kembali ke ayat 3 surat Al-Maun , menganjurkan
memberi makan bisa berarti kita adalah seorang mediator (menjadi amil zakat
misalnya) yang menjembatani hubungan antara kaum kaya dan dhuafa, supaya si
kaya bisa memanfaatkan hartanya untuk memberdayakan kaum dhuafa.
Ketika kita memberikan sedekah pada kaum dhuafa
berupa makanan, maka akan cepat habis
dikonsumsi. Namun, dampak yang timbul dari memberi makan secara tidak langsung
(pemberdayaan) akan terasa dalam waktu yang panjang. Mengubah status mereka
secara sosial menjadi orang yang mampu bekerja mencari nafkah sendiri, ketimbang
selalu diberi makan.
Dalam sistem ekonomi Islam, ada beberapa konsep
distribusi kekayaan, di antaranya zakat, infak, sedekah, dan wakaf. ”Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu”, begitu firman
Allah dalam surat Al-Hasyr ayat
7. Sangat jelas dalam ayat ini bahwa Islam menghendaki keadilan distribusi
harta antara kaum kaya dan dhuafa. Apakah orang kaya hanya sekedar memberi
kemudian dikonsumsi habis oleh kaum dhuafa begitu saja? Tentu tidak produktif
dan kaum dhuafa malah akan mengalami ketergantungan terhadap orang kaya.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah: 60)
Ayat di atas memberi petunjuk pada kita siapa yang
wajib diberdayakan. Delapan asnaf ini terus mengalami perkembangan penafsiran.
Misalnya, sebagian mufasir berpendapat bahwa fii sabiilillah dalam
konteks sekarang berarti juga mencakup kepentingan umum seperti mendirikan
sekolah, rumah sakit, pemberian beasiswa. Selama hal-hal tadi diniatkan untuk
berjuang di jalan Allah.
Di sinilah keunikan Islam. Wahyu yang mutlak
kebenarannya bisa memunculkan penafsiran-penafsiran baru sesuai dengan keadaan
zaman. Penafsiran yang dinamis akan selalu mendatangkan perubahan. Ketika
dahulu hasil zakat dan sedekah hanya digunakan untuk konsumsi langsung, tidak
ada perubahan yang signifikan. Namun, jika dialihkan untuk pemberdayaan ummat,
mendidik ummat, menyediakan fasilitas untuk ummat, lihat saja hasilnya
sekarang.
Dengan zakat produktif, lembaga amil zakat seperti
Dompet Dhuafa telah memiliki banyak aset semacam rumah sehat, lembaga
pendidikan, penanggulangan bencana, dan beasiswa bagi anak-anak dhuafa yang
berprestasi. Untuk yang terakhir disebutkan, bertujuan untuk memberdayakan
anak-anak dhuafa yang mempunyai kemampuan intelektual yang bagus. Penting
sekali mempersiapkan SDM untuk masa depan Indonesia. Akan sangat disayangkan
jika orang-orang cerdas tersebut tidak bisa melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi hanya karena masalah biaya pendidikan. Maka, sudah tepat sekali Dompet
Dhuafa menyelenggarakan beasiswa pendidikan semacam ini.
Salah satu contoh yang paling baik dalam hal
pengelolaan zakat adalah pada masa Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M). Perkembangan
pengelolaan zakat tersebut sangat dirasakan ketika masa kekhalifahan beliau.
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz menjadikan zakat sebagai bentuk subsidi silang
bagi rakyat miskin. Zakat diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
yang memiliki daya beli rendah. Dengan sistem ini, diharapakan akan
meningkatkan permintaan (demand), sehingga ikut meningkatkan penawaran (supply).
Maka hal ini akan ikut mendorong peningkatan produksi. Hingga akhirnya pada
masa ini, para pembayar zakat berkeliling kota untuk mencari penerima zakat yang
sudah sulit ditemui, karena mereka pada umumnya sudah memiliki kemapanan di bidang
ekonomi.
Potensi zakat di Indonesia yang mencapai angka 200
trilyun lebih seharusnya bisa menjadi kekuatan besar untuk memberdayakan kaum
dhuafa. Pengelolaan zakat yang produktif oleh lembaga-lembaga amil zakat
profesional diharapkan mampu memberikan perubahan sosial ke arah yang lebih
baik bagi kaum dhuafa di Indonesia, di tengah himpitan sistem ekonomi kapitalis
yang kian menyengsarakan.
No comments:
Post a Comment