Bulan ini saya baru selesai melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di ujung Kabupaten Bogor paling barat; Desa Kiarasari Kecamatan Sukajaya.
Kita mengisi kegiatan KKN dengan berbagai hal. Mengajar,
gotong royong membangun infrastruktur, diskusi, keliling kampung hanya untuk sekedar
bercengkrama dengan warga desa dan lain-lain.
Suati hari, ketika saya dan teman-teman sedang santai nonton
TV, ada ibu-ibu yang tiba-tiba masuk ke ruangan kami.
“Kemarin Bunga (sebut
saja anaknya ‘Bunga’) ngirim surat yah ke kakak-kakak?” Tanya si ibu setengah
menodong. Si bunga nunduk. Wajahnya diselimuti ketakutan (agak lebay yah). Sepertinya
baru dimarahi ibunya habis-habisan.
“Iya bu… gak apa-apa
bu, namanya juga anak-anak,” saya hanya menjawab demikian sambil menahan
tawa.
Gimana saya gak nahan ketawa, bahasa yang dipakai si bocah -yang
baru duduk di kelas 4 SD itu- seperti bahasa orang dewasa. Suratnya romantis,
ditujukan untuk seorang mahasiswa KKN. Saya setengah gak percaya si bunga nulis
surat semacam itu. Dia terlalu polos. Wajahnya desa banget.
“Maaf ya kak, maaf
banget… kalo udah gede sih gak apa-apa. Ini mah kan masih anak-anak. Ini sih
gara-gara nonton sinetron terus”, sahut si Ibu sambil menyebut salah satu
judul sinetron yang isinya Serigala berwajah ganteng.
Saya kembali menahan tawa. Tetapi kali ini disertai dengan
rasa prihatin juga. Prihatin bahwa anak-anak sekarang, jauh di pelosok-pelosok desa
sana, mudah sekali terpengaruh sinetron yang tak mendidik sedikit pun. Saya juga
bingung kenapa si ibu hanya menyalahkan si anak? Bukankah si anak seharusnya
nonton TV di bawah pengawasan ibu dan bapaknya? Ah, saya mau bilang gitu di depan
si ibu, yang ada saya malah ikut disemprot.
Ketika ibunya bilang bahwa ‘surat cinta’ itu lahir karena
efek sinetron, berarti sang ibu sudah tahu penyebabnya. Tapi ya begitulah, “anak
diracuni sinetron, tontonan nomor 1 tetap sinetron”. Begitu prinspinya. Nyatanya
sang ibujuga senang nonton sinetron.
Sekarang malah muncul peringatan dari KPI, salah satunya
peringatan untuk tayangan Tom & Jerry,
karena banyak mempertontonkan adegan kekerasan yang tak berprikehewanan
(entah istilah ini ada di KBBI atau engga). Dan berbagai alasan lainnya. Ya ampun,
saya dibesarkan dengan tontonan ini. Saya gak ada kebiasaan meniru adegan di
kartun itu; nyolok mata temen sembarangan misalnya. Atau tiba-tiba nyiram orang
pake soft drink.
Setelah bertahun-tahun tayang, baru dilarang? Agak lucu sih…
padahal sepertinya pengaruh gadget yang
saat ini bertebaran dimana-mana bisa lebih berbahaya untuk anak-anak ketimbang Tom & Jerry. Yah ini sih subjektif
ya…
Wakil ketua KPI bilang, gak semua kartun untuk anak. Lha mana
anak tau? Orang tuanya juga mana tau itu kartun dibuat bukan untuk anaknya,
kalo gak ada sosialisasi. Kalo sinetron, tak perlu minta keterangan KPI, sudah
pasti dibuat bukan untuk anak-anak. Tapi kan kenyataannya anak-anak malah
nonton sinetron. Sinetron aja dia
nonton, apalagi kartun yang identic buat tontonan anak. Sekali lagi, masyarakat
di kalangan paling bawah gak tau apapun, yang mereka tahu, TV itu buat hiburan.
Ya mungkin pelarangan itu upaya KPI dalam memproteksi
anak-anak. Tapi yang lebih penting bukan pelarangan ini itu. Gimana caranya
supaya KPI melakukan sosialisasi ke berbagai penjuru tanah air, agar masyarakat
–khususnya yang gak berpendidikan tinggi seperti di desa tempat saya KKN– bisa
membedakan mana tontonan yang baik dan yang engga. Ambil contoh misalnya KPK,
yang punya tim untuk sosialisasi anti korupsi ke sekolah-sekolah dan
tempat-tempa lainnya.
Saya pikir kalo hanya himbauan untuUk tidak nonton ini itu,
gak akan didengar. Kalo KPK bisa melakukan sosialisasi anti korupsi kemana-mana
(saya ikut beberapa kali), kenapa KPI tidak bisa melaksanakan sosialisasi
tentang tayangan yang sehat dan yang berbahaya? Toh keduanya sama-sama ‘Komisi’. TV mah jangan diharapkan
menyajikan tayangan sehat, mereka taunya cuma ‘untung’. Tontonan sehat memang
tanggung jawab semua pihak. Kalau pihak yang lain mesti bertanggung jawab, KPI
ya mesti punya tanggung jawab yang lebih.
Ada yang lebih penting dari sekedar melarang nonton sebuah
kartun. Contoh di atas soal dampak tayangan ‘pria ganteng berwajah serigala’
itu, adalah contoh nyata. Sayang sekali suratnya gak saya simpan sebagai bukti,
hehe… ada skala prioritas yang mesti
dipertimbangkan oleh KPI, mana tontonan yang berdampak sangat buruk, buruk,atau
tak berdampak apapun, lalu terjunlah ke masyarakat untuk memberi tahu
masyarakat. Kalau KPI menghimbau di TV, maka
himbauan itu akan muncul di program berita. Masyarakat gak nonton
berita. Mereka nonton sinetron atau infotainment.
Apalagi kalau himbauannya di berita-berita internet. Masyarakat desa jarang
sekali yang buka internet. Maka terjunlah ke bawah, cerdaskanlah masyarakat di
pelosok-pelosok Indonesia. Pasti banyak yang mau jadi relawan. Iya kan?
No comments:
Post a Comment